SUARA HATI
this site the web

Kurikulum berbasis kompetensi sekolah – Dihadang Waktu

Oleh : Ahmadi Haruna

Memasuki tahun ajaran 2006/2007 sekolah diberi kebebasan dan menentukan pola pembelajarannya masing-masing. Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan nomor 22, 23 dan 24, sekolah diberikan otonomi untuk membuat kurikulum pendidikan yang akan diterapkan.
Kurikulum yang baru ini mengacu pada kurikulum 2004 yang merupakan kurikulum nasional berdasarkan standar isi dan kompetensi. Atau disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan dasar diatas, maka setiap sekolah diwajibkan untuk membuat kurikulum bekerjasama dengan Komite Sekolah dan ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kebijakan menyerahkan pembuatan kurikulum kepada pihak sekolah, agar segala kemampuan dan kreativitas siswa dapat tergali. Sebab sekolah yang bersangkutanlah yang mengetahui betul kondisi anak didiknya. Peran pemerintah dalam penetapan kurikulum ini, hanya sebatas pada menentukan standar minimum secara nasional yang harus dicapai oleh setiap sekolah pada akhir semester. Selain itu, dengan kebijakan ini maka kurikulum yang dipakai di tiap sekolah bisa saja berbeda, sehingga tidak ada lagi buku wajib untuk sebuah mata pelajaran.
“Sekolah diharapkan sudah menerapkan kurikulum baru ini pada tahun ajaran yang sudah berjalan sekarang ini. Sekolah yang belum mampu, untuk sementara bisa menggunakan kurikulum sebelumnya,”ujar Kasi Kurikulum Subdin Menum, Drs. Mukhlis P. Msi. Menurutnya kendala utama dalam pemberlakuan kurikulum baru ini adalah mepetnya waktu. Sehingga sampai saat ini belum ada sekolah yang bersedia dan siap dengan kurikulum tersebut. Sedangkan -menurutnya, seluruh elemen sekolah harus dilibatkan untuk pembuatannya, sementara proses belajar mengajar untuk tahun ajaran baru ini sudah berjalan.
Selain itu, kemampuan guru untuk membuat kurikulum saat ini belum merata. Untuk itu, kata Mukhlis, pihak Dinas Pendidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 24 memberikan waktu hingga tahun ajaran 2009/2010. Kurikulum tersebut sudah harus di buat oleh setiap sekolah.
“Disinilah partisipasi Dinas Pendidikan untuk memberikan masukan dan penyegaran dalam rangka pembuatan kurikulum baru tersebut. Diminta kepada seluruh Dinas Pendidikan Kota untuk memploting pelaksanaan kurikulum baru ini,” jelasnya.
Untuk awal tahun ajaran ini, husus di Sulawesi Selatan, kata Mukhlis, sekolah yang diharapkan untuk menjalankan kurikulum ini adalah sekolah yang menjadi pilot project Dinas Pendidikan Sul-Sel. Sekolah tersebut diantaranya adalah, SMA 5, SMA 3, SMA 2 Tinggimoncong. Sedangkan untuk tingkat SMP ialah SMP Athirah, SMP 6, SMP 1 Pallangga, SMP 1 Bontomarannu, SMP 1 Mandai.
Adapun mekanisme pembuatan kurikulum tersebut, rancangan yang telah dibuat oleh masing-masing guru mata pelajaran, diserahkan kepada kepala sekolah untuk diperiksa dan ditandatangani, rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kota untuk disahkan menjadi kurikulum. Sedangkan untuk SMA pengesahannya dilakukan di Diknas Propinsi.
“Salah satu syarat kurikulum ini adalah, waktu belajar dalam seminggu tetap 32 jam, terserah sekolah ingin menambah pelajaran lain tapi tidak boleh mengurangi pelajaran yang sudah ada,” jelas Mukhlis.

Diversifikasi Kurikulum
Kebijakan penyerahan pembuatan kurikulum kepada sekolah, sangat memungkinkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah satu dengan sekolah yang lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan juga sekolah melakukan kerjasama dalam pembuatan kurikulum.
Disverifikasi kurikulum memang dipastikan terjadi. Untuk itu, diterapkan standar minimum yang harus dicapai oleh sekolah dalam setiap semesternya. Pembuatan soal untuk ujian, misalnya ujian nasional yang dilaksanakan Diknas pusat berpatokan pada standar tersebut, sehingga penilaiannya merata pada seluruh siswa.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri akan ada kesenjangan kemampuan siswa antara sekolah unggulan dan non unggulan, sealain kemampuan siswa yang berbeda, kompetensi guru yang memberikan pelajaran juga berbeda. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kembali lagi kepada aturan penetapan standar kompetensi minimum. Sekolah yang selama ini kemampuanya berada dibawah standar kompetensi, diwajibkan untuk bisa mencapai kompetensi standar tersebut dan akan ditingkatkan secara berkala.
Bagaimana jika standar kompetensinya tidak dicapai oleh sekolah?, konsekuensinya adalah siswanya tidak akan lulus. Sebab, standar minimum tersebut ditetapkan setelah melihat kemampuan sekolah.
Untuk penanganan sekolah yang berada di daerah terpencil dengan jumlah guru yang minim, diserahkan sepenuhnya kepada Dinas Pendidikan Kota untuk menangani kurikulumnya.
Ini adalah untuk pengembangan dunia pendidikan kita, sekolah yuang bersangkutanlah yang mengetahui potensi bakat yang dimiliki siswanya sehingga diserahkan sepenuhnya penanganan kurikulumya.






Pidato Sang Ibu Guru

Karya : Ahmadi Haruna

Hari ini kami berdiri
Didepan gerbang abad kompetitif
Dengan tangan terkepal
Mata terpejam
Berikrar:
Jangan lelah memberi terang
Jangan lelah memberantas kebodohan
Ini tugas mulia
Ini tugas nurani.
Mari terangi jalan para generasi muda
Menuj masa depan yang cemerlang
Buka pintu tehnologi
Dan masuk didalamnya

Wahai tuan-tuan guru mari tafakkur diatas sejedah tua
Ketika kita menerima kritik yang tak konstruktif
Tentang kualitas
Tentang pbm
Tentang etika rasional profesi

Wahai tuan tuan guru
Mari urut dada
Ketika kesra kita dicabit-cabit pemotongan
Akan cinta masyarakat yang tidak tulus
Pada para pendidik.
Tentang suara guru yang kadang dijadikan anak tangga politisi.
Wahai tuan tuan guru
Ini pidato singkat
Mari camkan sesegera mungkin.



Ahmadi Haruna, November 2004.



Tips : Jembatan Menuju Anak yang Cerdas dan Unggul

Jika pada zaman dahulu mewariskan harta yang tak habis selama tujuh turunan dapat membuat orang tua merasa tenang akan masa depan anaknya, maka dewasa ini hal itu telah digantikan pendidikan. Harta suatu ketika bisa habis, tapi pengetahuan dan keterampilan-yang diperoleh melalui pendidikan- tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu, banyak orangtua rela berkorban apa saja, asalkan anaknya memperoleh pendidikan yang baik. Dan, kalau bisa, sejak saat dini.
Bicara soal pendidikan anak sebenarnya tidak cukup sebatas menempa kemampuan kognitif, penumpukan pengetahuan, atau sekedar meningkatkan potensi intelegensi atau Intellegence Quotient (IQ). Sosialisasi dan pembentukan Emotional Intelligence (EI) menjadi hal lain yang harus diemban oleh sistim pendidikan. Akan halnya penanaman nilai-nilai yang disertai pemahaman budi pekerti sehingga tujuan utama pengajaran dan pendidikan hingga seorang manusia yang dewasa dan mandiri bisa dicapai
Dengan demikian dalam belajar seorang anak bukan hanya menghafal, mengingat, dan mengerti teori tapi diharapkan juga mampu mengaplikasikan semua itu dalam kehidupan nyata. Dalam istilah UNESCO belajar itu adalah to know, to do, to be, dan to live together.
PARADIGMA PENDIDIKAN
Antarina SF Amir, Managing Director High/Scope Indonesia mengatakan bahwa semua bentuk pendidikan, baik itu formal maupun informal harus dipersiapkan mendidik seorang individu dalam membuat sebuah pilihan dan keputusan-terbaik dan terburuk-yang didasarkan atas pengetahuan yang didapat di sekolah, masyarakat, keluarga, teman, atau dari literatur-literatur. Sehingga dengan demikian kedewasaan dan kemandirian seorang individu bisa terwujud.
Lebih jauh Ia menerangkan bahwa ada dua paradigma besar yang ada di dalam dunia pendidikan, pertama adalah paradigma behavioristik-yang melihat bahwa proses belajar itu adalah seperti tingkah laku, jadi harus dilakukan berulang-ulang sampai manusia itu mampu, dan paradigma konstruktivis yang mengatakan bahwa seseorang bisa membangun pengetahuannya sendiri dan bukan dibentuk oleh orang lain.
“Kalau sistim dulu, kita belajar itu gurunya berdiri dan menerangkan, terus diberi latihan. Kalau bisa ikuti apa kata guru berarti kamu berbakat. Hasil dari teori ini academic achievement-nya tinggi, test score-nya tinggi, tapi dia jadi professional yang skilled worker. Kemudian orang mulai beranjak, orang sudah mulai berubah bahwa belajar itu menyangkut investigasi dan bertanya. Jadi anak berbakat menurut teori pembelajaran ini (konstruktivis) adalah yang kreatif dan produktif. Dan hasil akhirnya menjadi penemu, desainer yang kreatif dalam bidang science, art dan teknologi, menjadi pemimpin yang inovatif dan menjadi entrepreneur,” terang Antarina
Paradigma konstruktivis inilah yang kemudian membuka wacana baru tentang cara belajar yang demokratis di mana antara guru dan murid bisa saling terjadi proses belajar dan mengajar. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak bisa diberi kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadai, diberi peneguhan dan motivasi.
Demokratisasi pembelajaran, yang beberapa waktu lalu dipromosikan melalui pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), telah membawa tantangan baru bagi profesi guru. Menurut Komisi Internasional tentang pendidikan di Abad ke-21 UNESCO (Delors, 1996) aneka perubahan besar dalam ilmu dan teknologi dewasa berimplikasi pada penyiapan tenaga guru. Di abad ini sumber-sumber informasi telah berkembang pesat di luar sekolah dengan cara yang begitu menarik dan ketika memasuki sekolah siswa telah memiliki kekayaan informasi itu. Pesan-pesan media yang dikemas dalam bentuk hiburan, iklan, atau berita sungguh menarik para siswa dan ini bertolak belakang dengan pesan-pesan yang dikemas para guru dalam pembelajaran di kelas.
Akibatnya, para guru di abad informasi ini memiliki tugas berat untuk merangsang kembali minat siswa terhadap pesan-pesan pembelajaran yang dilakukan di kelas dengan membuat peristiwa pembelajaran di kelas semenarik kemasan pembelajaran yang dijumpai di luar kelas.
Ditahap Pendidikan
Mengingat demikian pentingnya pendidikan, maka perlu kiranya untuk mengetahui tahap-tahap apa saja yang harus dilalui oleh seorang anak dalam pendidikan, mulai taman kanak-kanak hingga bangku perguruan tinggi.
“Sekolah yang ideal, waktu TK seorang anak harus dikuatkan kemampuan social dan emosional. Boleh diajari baca dan tulis tapi dengan menari atau menyanyi. Di sini juga disiapkan kemampuan social emosionalnya seperti kepercayaan diri, indenpendensi, inisiatif, bagaimana bersosialisasi dengan orang lain, dan bagaimana mengekspresikan pendapat,” tandas Antarina.
Tahap berikutnya-yaitu pada saat anak duduk di sekolah dasar-mereka akan menerima materi pendidikan yang lebih terstruktur yaitu tentang kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Demikian pula saat masuk ke sekolah menengah (SMP dan SMU), seorang anak perlu diasah kemampuan analisisnya.
“Sampai di perguruan tinggi kita focus pada konsep pengambilan keputusan. Keputusan di sini dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita S1, S2, dan S3, itu background ilmu yang akan memengaruhi kita saat mengambil keputusan. Misalnya untuk yang di ekonomi akan berfikir tentang cost dan benefit, supply dan demand. Seorang psikolog mengambil keputusan karena dia melihat dan mempelajari terlebih dahulu tingkah laku seseorang, atau seorang civil engineer yang melihat struktur bangunan,” terang Antarina.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa pendidikan memiliki begitu banyak unsur yang saling mempengaruhi. Sebut saja kurikulum, proses pembelajaran, sarana dan prasarana, serta hal lainnya. Akan tetapi yang pasti bimbingan orangtua memegang peran yang sangat penting, termasuk dalam memberikan les atau kursus tambahan pada mereka.
“Kalau materi pendidikan ada what and how. What adalah kurikulum dan how adalah metode. Tapi factor yang mampu membuat how ini bisa berjalan ada beberapa, antara lain bagaimana membuat suasana antara sekolah dengan rumah itu sejalan, kurikulum, learning method, lingkungan sekolah, faktor dari si anak seperti gizi dan lingkungan. Anak juga jangan terlampau diberi banyak kursus karena mereka butuh waktu untuk dirinya sendiri. Pilih satu atau dua hal yang merupakan power untuk diberi pendalaman itu tidak apa-apa. Tapi jangan ambil semua waktu, karena belajar bukan hanya didalam kelas, tapi dimana saja, dan kapan saja. Belajar yang paling baik adalah kalau datang dari diri sendiri,” ujar Antarina.



Membaca dan Agresivitas

Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar. Selama enam tahun (1996-2002), Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University School of Education, California, Amerika Serikat, meneliti dan mengikuti perkembangan 400 anak TK Dan SD di pedesaan dan wilayah kota miskin di AS. Warna desa dan kemiskinan dipilih karena di lingkungan itu pendidikan anak-anak mudah terpuruk dan terabaikan.
Hal menarik dari penelitian Miles dan Stipek adalah ada keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agretivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif dibatasi dengan empat golongan, ”suka berkelahi”, ”tidak Sabaran”, ”suka mengganggu”. Dan ”kebiasaan menekan anak lain” (bullying).
”Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relative rendah, saat dikelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat dikelas 5,” ungkap Miles dan Stipek. ”Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka agresif,” tambah kedua peneliti itu.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap social dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap sosial adalah ”suka menolong”, ”mengerti perasaan orang lain”, ”punya empati”, ”punya perhatian kepada yang susah”. Anak-anak memiliki sikap social yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD, begitu kesimpulan Miles dan Stipek.
Hasil penelitian menyimpulkan pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam kemampuan membaca pada jenjang-jenjang awal SD, ank-anak yang kemampuaan membacanya rendah perlu diberi perhatian istimewa melalui bantuan pribadi atau sistim pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Penelitian soal kemampuan membaca ini memang hanya pada anak 5-9 tahun. Bagaimana dengan anak 9-14 tahun? Apakah tingkat kemampuan membaca mereka mempengaruhi kehidupannya dimasa depan? Apakah pemakaian pengertian ”kemampuan membaca”, sebagai tolak ukur, untuk ank usia 5-9 tahun dapat dipakai untuk menilai anak umur 9-14 tahun?
PISA
Programme for Internasional Student Assesment (PISA) adalah proyek Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tujuan proyek untuk mengukur tingkat pengetahuan dan tingkat keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar) sebelum dewasa. Pesertanya, anak-anak dari 29 negara maju dan beberapa Negara berkembang. Dari tiap Negara, diteliti 4.500-10.000 anak.
Penelitian PISA dilakukan tiap tiga tahun dengan focus berbeda-beda, tetapi tetap saling berhubungan. Fokus tahun 2000 (32 negara) adalah reading literacy (kemampuan memahami bacaan). Fokus tahun 2003 (40 negara), mathematical literacy (kemampuan memahami matematika) dan problem solving. Lalu focus tahun 2006 (57 negara), scientific literacy (kemampuan memahami sains). Pada setiap penelitian, hasil focus terlebih dahulu diteliti ulang. Dalam tiga penelitian PISA, meski diluar Negara-nagara OECD, Indonesia selalu ikut serta.
Hasil penelitian terakhir tahun (2003), dari 40 negara, Indonesia berada pada tingkat terbawah pada kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea, dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia usia 14-15 tahun baru pada tingkat satu. Artinya, hanya mampu memamahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia. Kemampuan untuk menafsirkan, menilai atau menghubungkan isi teks dengan situasi diluar terbatas pada pengalaman hidup umum.
Akibatnya, mereka akan sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan bidang lain. Atas keadaan ini muncul dua akibat.
Pada usia 19-20 tahun, mereka mungkin baru mampu menyelesaikan SMA-nya. Atau jika pada usia itu sudah bekerja, besar kemungkinan untuk tersisih dipersaingan lapangan kerja.
Sistim semacam ini tentu mudah menyebabkan harga diri anak turun dan memicunya untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar (Rutter dan Giller, 1983). Situasi kejiwaan semacam inilah yang mudah meningkatkan sikap agresif (Malden, Blackwell, dan Pitkanen, 1969).
Perubahan
Sejak dasawarsa 1990-an, konsep tentang kemampuan membaca sudah berubah. Kini, kemampuan membaca dipandang sebagai sebuah proses konstruksi dan interaksi. Pembaca adalah orang yang aktif membangun makna, memahami strategi membaca yang efektif, dan mengetahui bagaimana merefleksikan bahan bacaan (Langer, 1995;Clay, 1991). Minimal ada tiga aspek kemampuan membaca, yaitu aspek ”proses memahami”, ”tujuan membaca”, dan ”sikap dalam membaca”. Di sini tekananya tidak lagi ”belajar membaca”, tetapi ”membaca untuk belajar (hidup)”.
Dari sudut pandang ini, gerakan membaca hendaknya dimulai dan dipelihara sejak dini, dari rumah, perpustakaan, sekolah, dan ekologi media. Standar idealnya, orangtua membacakan bacaan kepada anaknya sejak di kandungan hingga TK. Penelitian menunjukkan, seorang anak bisa mendapat 4.000-12.000 kosakata baru dalam setahun melalui buku-buku yang dibacakan untuknya. Allan E Cunningham dan Keith E Stanovich (1998) menunjukkan, jumlah kata-kata baru pada buku anak-anak 50 persen lebih banyak daripada jumlah kata-kata baru yang diucapkan pada prime-time acara tv dewasa atau pada percakapan lulusan universitas.
Selain di keluarga, di sekolah perlu ada perpustakaan. Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan, jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah murid. Adapun untuk perpustakaan di kelas, idealnya ada tujuh buku untuk satu murid. Bagi Indonesia, ini bukan sesuatu yang mustahil. Membangun kemampuan membaca adalah bagian dari mendidik, terus dilakukan tanpa henti.



Peran Blog di Dunia Pendidikan

Dewasa ini blog telah menjadi gaya hidup. Kegiatan blogging telah menjamur di mana-mana dari berbagai kalangan dan setiap elemen masyarakat. Entah itu hanya sebagai buku harian, ungkapan opini, ide, kreatifitas hingga untuk meraup penghasilan lebih dari berbagai macam bisnis dunia maya.
Dengan munculnya keragaman dalam dunia blog senidiri maka terciptalah sebuah dunia maya yang sangat kompleks dan saling melengkapi tak jauh bedanya dengan dunia nyata. Dengan mendapatkan informasi dengan cepat, media sosialisasi (online), mempererat persahabatan, membangun sebuah komunitas, hingga menambah penghasilan dan lain sebagainya. Dari situlah blog bisa menjadi sebuah candu bagi seseorang, hingga tak heran kalau ada seseorang yang rela manghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya (baca:blogging)
Nah, melihat fenomena blog ini, sebenarnya bisa kita manfaatkan dengan maksimal untuk dunia pendidikan. Pengalaman saya sendiri sewaktu masih duduk di bangku sekolah, saya merasa jenuh dengan cara penyampaian materi pelajaran di kelas, sangat membosankan dan hal itu pun tak jauh berbeda dengan yang dirasakan teman-teman. Tidak sedikit dari mereka yang berharap semoga lekas pulang dan segera melakukan aktifitas lainnya.
Dari situ, seandainya para guru punya inisiatif untuk menunjang materi pelajaran lewat blog, pasti akan sangat menyenangkan, dan saya rasa itu adalah cara yang efektif untuk meningkatkan minat belajar para siswanya. Ya, bisa juga kan, misalnya seorang guru memposting suatu permasalahan atau materi pelajaran yang disusun dalam suatu bahasa yang formal tetapi lebih santai. Para siswanya kemudian bisa blogwalking ke blog tersebut dan kegiatan belajar mengajar pun bisa menjadi lebih menyenangkan.
Materi pelajaran sekolah yang diposting melalui media blog bisa menjadi sebuah konten hebat yang bermanfaat bagi kemajuan dunia pendidikan. Selain memperkenalkan teknologi internet di kalangan pelajar dan pengajar, juga bisa menjadi terobosan baru di dunia pendidikan. So, tunggu apa lagi, teknologi yang semakin canggih ini asal dimanfaatkan semaksimal mungkin, diharapkan dapat menghasilkan suatu perubahan besar, tidak hanya di bidang pendidikan, bahkan mencakup semua bidang.

Sumber : http://johan89.blog.telkomspeedy.com/2009/01/22/peran-blog-di-dunia-pendidikan/


Buku adalah 'dokumentator' handal

Oleh : Ahmadi Haruna

Seorang ahli sejarah dan ilmu pengetahuan berkebangsaan Skot­landia Thomas Carlyle Mengatakan "In book lies the soul of the whole past time. The true Universi­ty of these days is collection or boo­k".(Artinya: dalam buku terkan­dung jiwa seluruh masa lampau. Kini Universitas yang sejati me­rupakan suatu koleksi daripada buku-buku). Para bijakpun: buku adalah 'gu­ru' yang tak pernah merasa bosan dan jenuh. Buku selalu siap sedia-­ibarat Udara, kapan dan dima­na saja kita berada tanpa mengenal waktu, ruang, siap dihirup, ketimbang dengan guru, dosen dan nara sumber lainnya yang memakai 'ti­me schedule' untuk berkonsultasi.

Ada sebuah pepatah berbunyi : "A book is like a garden carried in the pocket". Ku­rang lebih maknanya : sebuah bu­ku bagaikan sebuah taman di da­lam kantung. Sebuah buku me­mang bagaikan pohon yang sarat buah-buahnya yang tak henti­ -hentinya dapat dipetik dan di­gunakan.
Pepatah diatas, menggariskan, de­ngan buku kita dapat menjelajah ke seluruh pelosok dunia tanpa mengenal batas waktu maupun tempat. Lewat fantasi yang disu­guhkan pengarang dalam karya­nya, seolah kita berada dalam se­buah taman. Taman yang ditumbu­hi berbagai ragam bentuk, wama, aneka 'bunga' pengetahuan.

Jika kita meng­kaji dan mengupas, sesungguhnya benda yang namanya buku adalah gudangnya ilmu, terdapat beraneka ragam ilmu pengetahuan. Buku telah mela­hirkan intelektual-intelektual briliant dunia, bahkan melahirkan ban­dit-bandit intelektuaI. Buku adalah 'dokumentator' handal, lewat bu­ku kita dapat mengetahui peristiwa masa Ialu, peristiwa sekarang dan mampu mengesti­masi penstiwa-peristiwa yang ba­kal dan terjadi di masa datang.

Buku adalah pe­nemuan manusia yang sungguh hebat, kare­na buku ialah sebuah penemuan atau buah pikiran yang tak tersapu oleh waktu , buku ialah ilham yang menyumbang perkembangan peradaban tak hi­lang di telan sejarah, tetapi ikut membentuk jalannya sejarah. Maka dari itu rugilah kita jika tidak memiliki rasa cinta terhadap buku dan tentunya juga harus dibarengi dengan niat untuk mempelajarinya.



Guru, elemen yang terlupakan

Pendidikan Indonesia selalu gembar-gembor tentang kurikulum baru...yang katanya lebih oke lah, lebih tepat sasaran, lebih kebarat-baratan...atau apapun. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.
Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus Guru, digugu dan ditiru....Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya...sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.

sumber : http://pendidikanindonesia.blogspot.com


Konstribusi Komite Pada Satuan Pendidikan

Acuan operasional pembentukan Komite Sekolah berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 044/U/2002 dan UU No. 22 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, maka dengan sendirinya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0293/U/1993 tentang Pembentukan Badan dan Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) dinyatakan tidak berlaku (Pasal 3 Kepmendiknas No. 044/U/2/2002).
Komite sekolah adalah mitra satuan pendidikan yang bekerja secara mandiri dan independent yang mewadahi adalah masyarakat tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan Dewan Pendidikan maupun dengan lembaga pemerintahan, tetapi dapat mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan Dewan Pendidikan, kepala satuan pendidikan atau pihak-pihak yang dibutuhkan dalam rangka mengupayakan peningkatan layanan pendidikan.
Jika komite sekolah ini dapat dijalankan dengan menjauhkan rasa arogansi berarti proses dan pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis. Ini berarti menjadikan pendidikan berakar pada masyarakat yang tentunya mempunyai sustainability yang handal, juga menjadikan lingkungan sekolah menjadi labolatorium dan contoh mikro dari realisasi masyarakat madani, sebab dengan demikian masyarakat sekolah berarti menjalankan fungsi legislative, eksekutif, partisipasi, transparansi dan akuntabilitasi.
Tujuan Komite Sekolah
1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan.
2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
3. Menciptakan suasana dan kondisi transparansi, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan pendidikan bermutu.

Peran Komite Sekolah
1. Memberi pertimbangan (advisori agency) dalam penentuan dan pelaksanaan Kebijaksanaan pendidikan di satuan pendidikan.
2. Pendukung (supporter agency) baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3. Pengontrol (kontroling agency) dalam rangka transparansi, akuntabilasi penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
4. Mediatorantara pemerintah dan masyarakat disatuan pendidikan.

Fungsi Komite Sekolah
1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/DUDI), dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat.
4. Memberi masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai ; (a) Kebijakan dan program pendidikan, (b) Rencana Anggaran Pendidikan Belanja Sekolah (RAPBS), (c) Kriteria kinerja satuan pendidikan, (d) Kriteria tenaga pendidikan, (e) Kriteria fasilitas pendidikan, (f) Hal-hal lain yang terkait dengan dunia pendidikan.
5. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung pendidikan mutu dan pemerataan pendidikan.
6. Menggalang dana masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pembiayaan pendidikan di satuan pendidikan.
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadapkebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

Peran dan fungsi seperti yang diuraikan di atas merupakan sumber rujukan utama untuk penjabaran kedalam kegiatan operasional Komite Sekolah pada satuan pendidikan seperti misalnya ;
1. Peran dalam memberi pertimbangan, dijabarkan dalam kegiatan :
a. Mengadakan pendataan dan menganalasis kondisi sosial ekonomi keluarga peserta didik dan sumber daya pendidikan masyarakat.
b. Memberi pertimbangan/masukan tentang pengembangan MULOK dan PAKEM serta ada penyusunan VISI, MISI, TUJUAN, KEBIJAKAN, RAPBS, dan proposal kegiatan sekolah lainnya.
2. Peran sebagai supporting dijabarkan dalam kegiatan :
a. Membantu sekolah dalam penggalangan dana masyarakat dan dunia usaha dan industi untuk biaya pembebasan uang sekolah bagi siswa keluarga tak mampu, dan keperluan pembiayaan sekolah lainnya.
b. Memberi dukungan kepada sekolah untuk secara preventif dan kuratif dalam pemberantasan dan penyebarluasan narkoba di sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.
c. Mengadakan kegiatan inovatif untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat untuk peduli pendidikan.
3. Peran sebagai mediator, dijabarkan dengan kegiatan mengadakan penjajakan tentang adanya kemungkinan untuk dapat mengadakan kerjasama atau MoU dengan lembaga lain untuk memajukan sekolah.
4. Peran sebagai kontroling dapat dijabarkan dengan mengadakan rapat insidentil dengan kepala sekolah, guru-guru di sekolah serta kegiatan penelusuran kegiatan alumni.
Keterlaksanaan dan keberhasilan kegiatan operasional Komite Sekolah menjadi ukuran kinerja. Dengan kata lain, jika komite sekolah telah melaksanakan semua kegiatan operasional dengan sempurna, melengkapi dan mendayakan fasilitas organisasinya secara rutin dan optimal, maka komite sekolah dapat dinilai telah banyak memberikan konstribusi pada satuan pendidikan dan telah memiliki kinerja yang tinggi untuk peningkatan kualitas pendidikan.



 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact