SUARA HATI
this site the web

Masalah Pendidikan Bukan Semata Tergantung Besarnya Anggaran

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan persentase dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Niat baik di balik amandemen itu adalah kesadaran bahwa
dunia pendidikan memerlukan pembenahan yang mendasar dan sungguh-sungguh.

Anggaran pendidikan telah meningkat demikian besar. Alokasi APBN untuk Depdiknas merupakan alokasi paling
besar yang diberikan kepada lembaga pemerintahan, kenaikannya sangat signifikan. Namun tentu saja masalah
pendidikan bukan semata-mata tergantung kepada besarnya anggaran, kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Simposium Nasional Pendidikan dan Ketenagakerjaan di Istana Negara, Jakarta pada hari ini.

Hadir mendampingi Presiden SBY pada pembukaan simposium Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo serta
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno. Simposium dengan tema Menentukan Arah Pembangunan
Nasional digagas oleh organisasi kemahasiswaan diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI); Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia ( GMNI ); Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI); dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM).Presiden SBY menyampaikan, hal-hal lain yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan perlu dibenahi. Menurut dia,perlu membangun fasilitas pendidikan yang memadai. Selain itu, menyediakan tenaga guru dan dosen yang memiliki
kualitas serta kemampuan yang tinggi. Lebih dari itu, lanjut dia, kurikulum pendidikan nasional juga harus terus menerus
dilakukan evaluasi agar tetap sejalan dengan kebutuhan perubahan zaman dan tantangan masa depan. Agar
output pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang tersedia di negeri kita, baik di sektor pertanian,
industri, maupun di sektor jasa, ujarnya.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya, kata SBY, adalah menyadarkan para orang tua tentang betapa pentingnya
pendidikan bagi anak-anak mereka. Sesungguhnya hanya pendidikan lah yang akan mampu mengubah masa
depan seseorang. Setiap orang tua hendaknya berpikir bahwa nasib anak-anak mereka lebih baik dari nasib mereka
sekarang katanya.

SBY mengatakan, sekarang pemerintah telah membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga miskin. Pemerintah juga
telah memberikan bantuan operasional sekolah ( BOS ) agar kendala biaya dan fasilitas pendidikan dapat diatasi. Di berbagai daerah bahkan, yang saya kunjungi, yang saya cek di lapangan, pemerintah daerah telah membebaskan biaya pendidikan hingga jenjang SMA. Demikian juga kesehatan, diharapkan makin berkualitas, murah, dan gratis. Rakyat miskin bebas berobat di Puskesmas dan di rumah sakit kelas III , ujarnya.
Lebih lanjut SBY mengatakan dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan adalah dua dunia yang saling berhubungan
secara fungsional. Menurut dia, masalah yang terjadi pada dunia ketenagakerjaan tidak dapat dilepaskan dari masalah
yang terjadi pada dunia pendidikan. Dunia ketenagakerjaan memiliki paradigma dan logika tersendiri yang dalam
prakteknya tidak selalu sejalan dengan paradigma dan logika dunia pendidikan. Dan ini bukan hanya di negeri
kita, ujarnya. Lebih jauh SBY mengatakan pertumbuhan dunia ketenagakerjaan tidak pula selalu berbanding lurus dengan
pertumbuhan dunia pendidikan. ”Itulah sebabnya kita harus terus mencurahkan perhatian dan pemikiran untuk
merumuskan sistem kebijakan dan formula yang tepat agar dapat mensinergikan dua dunia yang berbeda namun saling
terkait ini, katanya.

Setiap tahun, kata SBY, pasar tenaga kerja dibanjiri jutaan tenaga kerja baru. Dia mengatakan, jumlah angkatan kerja
baru jika dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja setiap tahunnya selalu mengalami kesenjangan. Angkatan kerja
bertambah terus, baik yang berpendidikan SMA maupun sarjana, bahkan lulusan SMP dan SD. Menurut dia, hal ini
bukan semata-mata disebabkan oleh kurang sesuainya pendidikan dan ketenagakerjaan, tetapi juga karena tidak
mudahnya membuka lapangan pekerjaan baru. Membangun dan memperluas lapangan kerja harus dikerjakan
bersama-sama oleh pemerintah dan dunia usaha, katanya. Kepada peserta yang hadir, SBY mengajak untuk mengembangkan segitiga tanggung jawab, yakni pihak pemerintah, lembaga pendidikan, dan pasar tenaga kerja atau jasa yang menyerap hasil pendidikan.* **

Sumber : www.depdiknas.go.id




GOLPUT

Karya : Ahmadi Haruna

Hari pemilu
Seorang lelaki setengah baya
Santai diberanda
Secangkir kopi ditangan kiri
Sebatang rokok ditangan kanan

Ketika ditanya hari apa hari ini
Dia tersenyum
“Hariku,hari orang-orang Golput,hari orang yang tidak diberdayakan “ jawabnya

Hidup Golput,Hidup golput, tandasnya



5 Nopember 2007
Sumber : Buku Kumpulan Puisi Ahmadi Haruna



Cara Memprioritaskan Kuantitas dan Kualitas Pendidikan

Kuantitas dan kualitas pendidikan harus diprioritaskan secara seimbang. Yang sering terjadi adalah kuantitas yang tinggi akan mengurangi kualitas atau sebaliknya kualitas yang tinggi dapat mengurangi kuantitas. Karena itu dalam pembiayaan pendidikan perlu adanya asumsi yang berlaku secara umum:

Pendidikan untuk semua. Penyediaan pendidikan dasar yang proporsinya lebih besar dan sekolah menengah bagi yang melanjutkan serta perguruan tinggi yang memadai.
Ketetapan berlaku seluruh warga. Ketetapan dirancang dan berlaku untuk memenuhi kebutuhan setiap orang.

Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kesempatan diberikan untuk semua warga negara dalam memperoleh kesempatan pendidikan dan mutu pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan.

Peluang pendidikan harus disiapkan. Masyarakat berhak untuk memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya dengan fasilitas negara.

Sekolah dasar dan menengah harus didukung oleh dana melalui perpajakan publik
Perlakuan yang khusus bagi mereka yang ingin mengirimkan anaknya ke perguruan tinggi

Masing-masing status perlu menyediakan hukum dan konsekuensinya dalam mendukung keuangan yang cukup

Masing-masing warga negara turut mendukung dengan kemampuannya pada sekolah negeri dan institusi yang lebih tinggi,

Untuk memprioritaskan kualitas dan kuantitas pendidikan ini, masing-masing sekolah mempunyai prioritas pembiayaan yang berbeda-beda. Menurut Bobbit (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Penggunaan biaya yang tidak perlu dihindari. Efektifitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan.
Perhitungan kuantitatif yang dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan efektifitas internal antara lain digunakan pertimbangan rata-rata lama waktu belajar (average study time) yang dihabiskan oleh lulusan dalam satu periode tertentu. Banyaknya waktu yang dihabiskan oleh siswa (pupil year wasted) sebagai pemborosan, hal tersebut terjadi antara lain karena pengulangan kelas, putus sekolah, dan berhenti sementara. Waktu yang dibutuhkan sekolah (years input pe graduate) untuk menghasilkan lulusan yang normal maupun mengulang. Schultz (1963) mengemukakan output dapat diilustrasikan seperti ketrampilan dasar, ketrampilan pekerjaan, kreatifitas, bakat dan lainnya. Output ini menjadi gambaran bahwa ketrampilan dan pengetahuan melalui proses pendidikan perlu dukungan biaya. Ketersediaan anggaran untuk pengelolaan satuan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan menjadi penting untuk membangkitkan kinerja (meningkatkan kualitas) sekolah agar menjadi lebih baik.

Strategi yang ditempuh sehingga terpenuhi biaya pendidikan yang direkomendasikan oleh UU No. 20 tahun 2003 Sispenas Pasal 46 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan undang-undang tersebut penyediaan anggaran pendidikan menjadi tanggung jawab negara baik pemerintah pusat yang bersumber dari APBN maupun pemerintah propinsi yang bersumber dari APBD dan pemerintah kabupaten/kota yang juga bersumber dari APBD, sehingga masing-masing perlu adanya wewenang yang jelas. Selain itu untuk menggalang peran serta masyarakat perlu adanya suatu sistem yamg mendukung atau memberikan ruang gerak kepada sekolah untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasinya. Saat ini yang terjadi di negara kita, untuk sekolah negeri, apabila kekurangan dana karena suplay dari pemerintah terbatas, maka sekolah cenderung menunggu alokasi dana berikutnya dari pemerintah. Jika sekolah berinisiatif untuk mengatasinya dengan dana diluar alokasi pemerintah, tidak ada aturan yang membenarkannya. Seandainya sekolah mampu mengakses dana yang bersumber non pemerintah, pekerjaan tersebut dianggap negatif, karena tidak legal.

irwanparawansa@gmail.com



KATANYA

Karya : Ahmadi Haruna

Katanya Indonesia lumbung padi
Tapi warga tuna wisma masih beratus ribu
Katanya masyarakat Indonesia ramah tamah
Tapi badik masih saja mudah bicara

Katanya Agama adalah pijakan
Tapi masjid masih saja melompong diwaktu shalat
Katanya masyarakat Indonesia tertib lalu lintas
Namun pengendara nyelonong dimana – mana

Katanya Indonesia panoramanya indah
Tapi pantainya masih jadi bak sampah
Katanya masyarakat Indonesia punya disiplin tinggi
Sayang budaya antri belum merata

Katanya,
Kata yang bukannya zamannya lagi diucapkan
Katanya adalah kata pembohong yang paling muslihat
Katanya, kata harus dibungkam ucapannya

Kata ‘KATANYA’ adalah PR buat Presiden baru



September 2007
Sumber : Buku Kumpulan Puisi Ahmadi Haruna



Terima kasih ya…Allah

Karya : Ahmadi Haruna

Disini aku bersujud padaMU
Setelah perjuangan yang manantang dan melelahkan
Telah terlewati.
Melambung tinggi menembus cakrawala
Semua orang menatap
Semua orang bersua kecil “Ini adalah kebenaran”

Kebenaran yang terucap akan banyak ummatNYA
Kebenaran yang terlontar tulus akan menjadi kenyataan
Kebanaran yang terungkap dari nurani
Akan berbuah sebuah berkah

Kemenangan adalah kebenaran
Dan kebenaranmu kami luncurkan
Terimakasih Ya…Allah
Terima kasih atas campur tanganMU



l5 November 2007
Sumber : Buku Kumpulan Puisi Ahmadi Haruna






Rakyat sebagai Kekasih Sejati

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: "Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?" Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya,atau membiarkan nama-nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.

Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.

Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.

Memiliki Pola Kearifan

Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.

Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.
Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.

Emha Ainun Nadjib
Dimuat di Kolom Opini Harian Kompas 6 Januari 2009
http://www.artikel-indonesia.co.cc/2009/02/rakyat-sebagai-kekasih-sejati.html



"Anak" tak Jelas, Pancasila pun Makin Kabur

Oleh: Basri, Catatan Monolog Ahmadi Haruna, "Kubelah Jantungku"

DARI pojok kanan luar Kafe Kaisar, Makassar, berteriak seorang laki-laki. Ia mempertanyakan kondisi di dalam ruangan yang dihadiri para pejabat. Hadirin tersentak.Soalnya, hadirin menunggu-nunggu agak lama pemeran monolog "Kubelah Jantungku" itu muncul dari depan, tapi tiba-tiba justru datang dari belakang penonton. Sosok lelaki bernama Ahmadi Haruna itu pun menyeruak ke tengah-tengah penonton sambil membawakan monolognya. Ia langsung naik pentas.

Hening sejenak. Ahmadi memecahkan kepenasaranan hadirin dengan menjelaskan perannya. Ia "tiba-tiba" menjadi pembawa acara seraya menyapa para pejabat yang menjadi tetamu dalam resepsi Ulang Tahun ke-41 SKU Tegas Makassar itu. Ahmadi juga mengumumkan para penyanyi yang akan mengisi acara hiburan.

Tentu saja setelah pertunjukan monolog karya Ahmadi Haruna dalam acara Minggu malam, 27 Januari itu.

Keaktoran Ahmadi tampak jelas dalam adegan ini. Dengan karakter khasnya, ia beralih peran. Ekspresi peraih aktor terbaik dalam Festival Teater Sulsel 1987 ini kembali pada sosok tua. Kali ini, monolog Ahmadi menyentuh bagian lain. Dari persoalan perempuan, negarawan, birokrasi, Pilgub, sampai hal-hal filosofis kondisi keseharian lainnya.

Aktor salah satu perintis Teater Monolog di Sulsel itu membedah makna Pancasila. Katanya, makna Pancasila telah bergeser dari nilai-nilai "mulia" yang terkandung di dalamnya.

"Pancasila tidak lagi mencerminkan sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan ini, terutama di Sulsel dalam momentum Pilkada," kata Ahmadi seraya mencontohkan lima sila yang dimaksud.

Pergeseran nilai sila pertama, menururt Ahmadi, dapat dilihat dalam kehidupan berdemokrasi. "Para elit politik seakan-akan melupakan Tuhan," katanya.

Pergeseran makna sila kedua, dapat dilihat pada munculnya anarkistis di mana-mana. Pertikaian pun di mana-mana. Semua ini mengakibatkan tercincangnya nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana pada sila kedua Pancasila.

Pergeseran nilai sila ketiga, tergambar pada kerenggangan terhadap persatuan melalui silang pendapat soal keputusan MA tentang Pilkada Gubernur Sulsel baru-baru ini. Ini katanya gambaran persatuan di Sulsel telah tergugat.

Pergeseran sila keempat tampak di DPR. Harusnya segala sesuatu dilaksanakan secara musyawarah, lalu mufakat. Kondisi sekarang, justru mufakat dulu baru musyawarah.

Khusus pada sila kelima, Ahmadi menyoal adanya pelbagai keputusan yang lahir dari penegak hukum yang kemudian kontroversial di dalam masyarakat. "Bukankah hukum itu untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat? Lalu, mengapa justru masyarakat bertanya-tanya, di mana keadilan itu?

Maka, patut pula dipertanyakan, ke mana sila 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' itu?" tutur pemeran utama "Karaeng Pattinggaloang" karya Fahmi Syariff dalam Festival Teater Indonesia di Yogyakarta beberapa tahun lalu.

Lantas apa kaitannya dengan makin "kaburnya" nilai-nilai Pancasila dengan peran Ahmadi sebagai "suami" Margaret?

Di sinilah keaktoran Ahmadi mampu memberi nuansa simbolik untuk menerangkan "kekaburan" nilai dalam kehidupan. Dalam adegan ini, Ahmadi terkulai di sisi meja bundar. Ia menatap sangat jauh. Wajahnya makin kusut ke masa lalu. Ia sangat tua.

Ahmadi menarik garis zaman mengenang seorang perempuan cantik bernama Margaret. Dari perempuan ini, Sang Tokoh dianugerahi tiga anak perempuan. Namun, sebagai ayah, Sang Tokoh bertanya, mengapa tak seorang pun puterinya yang mirip dengan ayah.

Ahmadi memerankan adegan ini dengan sempurna. Hadirin pun terkesima. Hening lima menit. Namun, suasana kembali cair ketika Ahmadi bangkit dan tiba-tiba muncul adegan kocaknya.

Saat itu, Ahmadi mengenang kecantikan Margaret. "Betisnya..., pipinya..., buah dadanya..., pokoknya, semuanya deh," kata Ahmadi seraya menertawai dirinya. Hadirin pun memberi aplaus seraya tertawa.

Dalam adegan inilah simbol "kekaburan" nilai itu terejawantah. Kendati makna yang lain bisa saja muncul, bahkan berbeda, bergantung apresiasi penonton lainnya. Di sini ada makna bahwa antara aturan, pembuat aturan, dan yang menjalankan aturan, kadang-kadang terjadi kesenjangan.

Tidak selamanya "wajah" anak bisa tunduk dari "wajah" ayahnya. Tidak selamanya "wajah aturan" sejalan dengan "wajah" yang melahirkan aturan. Siapa tahu, sebuah aturan lahir dari sebuah "perzinahan hukum".

Ini pun hanya salah satu persepsi dari sebuah apresiasi, sebagaimana kesangsian Sang Tokoh tadi terhadap tiga anaknya. Dan, Margaret bisa jadi ikon sebuah "perzinahan" itu, ikon sebuah kekaburan nilai, kendati Ahmadi tidak menyebutkannya dalam pertunjukan berdurasi 27 menit tersebut. (*)

Sumber : http://fajar.co.id


Membangun Indonesia Melalui Sadar Pendidikan

Ilmu pengetahuan merupakan pondasi utama memajukan sebuah bangsa dan Negara. Suatu bangsa dan Negara yang mengabaikan akan pentingnya sebuah pendidikan bagi generasi penerus, maka bangsa tersebut akan lemah dalam segala hal,
maka bangsa tersebut akan selalu hidup dalam kemunduran tanpa adanya kemajuan yang sangat berarti. Indonesia yang meupakan penduduk yang mayoritas muslim, bahkan dapat disinyalir bahwa Indonesia merupakan Negara terbesar di dunia yang kapasitas penduduknya beragama Islam. Sebagai pemeluk agama yang setia, kita dapat mempelajari betapa Islam begitu besarnya membrikan perhatian terhadap pendidikan. Hal ini dapat kita pelajari dari wahyu yang pertama kali diturunkan oleh Allah SWT kepada baginda besar Muhammad SAW yaitu surat Al-'Alaq ayat 1-5 yang artinya " bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dri segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang ia tidak diketahuinya" .

Kekuatan yang dimiliki ummat dan kemenangan yang selalu dijanjikan Allah SWT kepada mereka, bukan hanya bertumpu pada sisi aqidah atau ibadah saja dan tanpa diiringi dengan ilmu pengetahuan Islam dan ekspansi kebaikan atau amal islami dalam kehidupannya. Namun, kekutan dan kemenangan itu tegak kokoh di atas tiga pilar yang satu sama lain tidak boleh terpisahkan yaitu, iman, ilmu dan amal (ibadah), dan saat ini, ketika ummat mulai meninggalkan tsaqafah islamiah dan ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat, maka kekuatan dan kemenangan tersebut berangsur-angsur akan hilang dan pada akhirnya digantikan dengan ketidakberdayaan serta kelemahan. Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya. ".Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar: 9) ".niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (al-Mujaadilah: 11), mengenai hal ini, Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya jati diri seorang pemuda-demi Allah-ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya."

Ilmu merupakan kekuatan, siapa yang paling unggul ilmunya dialah yang memimpin. Sekarang peradaban yang menguasai dunia adalah peradaban Barat. Ini logis, sebab Baratlah yang menguasai iptek dan science. Berkaitan dengan inilah tatkala Allah SWT memberikan isyarat tentang pengembangan ilmu pengetahuan di dalam Kitab Suci-Nya, Dia menyeru tidak secara khusus ditujukan kepada orang-orang beriman, namun seruan-Nya dilakukan secara umum kepada seluruh jamaah jin dan manusia, sehingga siapa yang lebih dahulu melakukan observasi, kajian dan pengembangan, maka dialah yang mendapatkannya (QS. Ar Rahman, 55:33).

Pada masa silam para ulama umat Islam selain memiliki penguasaan terhadap ilmu-ilmu agama, mereka juga menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan umum yang berorientasi pada pengembangan sarana kehidupan.Sebagai contoh Ibnu Sina misalkan, yang di Barat disebut dengan Avecienna, selain seorang ulama yang pakar dalam bidang kedokteran sesungguhnya dia juga menulis buku-buku tentang fiqih, tafsir dan akidah.
Al Qur'an sebagai Way of Life orang-orang Islam, padanya paling tidak ada 3 tipe ayat, yang apabila kaum Muslimin mensikapinya secara benar dan proporsional, bisa jadi akan menghantarkannya pada kejayaan, kemajuan dan supremasi. Ketiga tipe ayat itu adalah:

Pertama, ayat-ayat tentang keimanan dan keyakinan kepada yang ghaib, seperti iman kepada Allah, malaikat, takdir/qadha, hari Kiamat, pahala, dosa, surga, neraka dan sebagainya. Terhadap masalah yang seperti ini pendekatan yang harus dilakukan adalah dengan menggunakan hati, yaitu iman.

Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan isyarat-isyaratnya. Terhadap masalah ini pendekatannya adalah dengan menggunakan akal, yaitu dipikirkan, diobervasi, dikaji, dan dikembangkan sehingga lahirlah science dan teknologi.

Ketiga, ayat-ayat tentang hukum dan undang-undang. Terhadap ayat-ayat yang seperti ini kewajiban umat Islam adalah melaksanakan dan menegakkannya.

Pendekatan yang benar dan proporsional akan melahirkan umat yang memiliki keimanan yang kokoh, cerdas dan berilmu pengetahuan dan percaya diri dan bangga dengan identitas dirinya. Inilah modal utama ke arah kejayaan dan supremasi Umat Islam.

Dalam kenyataannya umat ini justru mengalami kelemahan dalam hal itu semua. Walhasil umat sekarang dalam keadaan hina, mundur dan terkebelakang, sebagai konsekwensi jauhnya mereka dari tuntunan dan pedoman hidupnya: "Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Allah tidak lengah dari apa yang mereka perbuat." (QS. Al Baqarah:85)

Sebenarnya, negara-negara Islam belum sepenuhnya keluar dari cengkeraman para negara agresor dan penjajah, seperti Indonesia, Tunisia, Siria, Mesir, dan negeri-negeri yang lainnya. Mereka masih terjajah. Tidak kah mereka membawa empat slogan yang selalu didengung-dengungka n? Yaitu, God (Tuhan atau penyebaran agama), Gold (Emas), Gospel (kekayaan), dan Glory (kejayaan). Empat tujuan ini masih mereka nikmati, meskipun mereka telah hengkang dari negeri-negeri jajahannya. Maka meskipun secara fisik dunia Islam tidak terjajah, namun setiap dimensi kehidupan ummat masih dalam cengkeraman konspirasi mereka. Dan konspirasi mereka inilah yang dewasa ini dikerjakan oleh tangan-tangan LSM-LSM dan Yayasan-yayasan yang digerakkan oleh anak-anak muslim yang sudah dicuci otaknya dan yang didanai oleh mereka, para penjajah. Seperti Freemansory, Rotary Club, Lion Club, LSM sosialis komunis dan yang lainnya. Mereka bergerak sesuai keinginan donatur-donatur mereka yang semuanya ingin memberangus kebenaran Islam.

Setelah peperangan usai dan para penjajah hengkang dari bumi ummat Islam, namun negara-negara ketiga yang notabane negeri muslim semakin hari semakin terbelakang dan terpuruk dalam bidang iptek dan industri. Ini juga merupakan langkah-langkah strategis yang dilakukan pihak Barat dan musuh-musuh Islam yang tidak pernah ingin melihat ada satu negara muslim yang berkembang dan mengalami kemajuan. Mari kita renungkan beberapa komentar dan pernyataan para orientalis berikut ini;

Salah seorang pejabat pada Kementerian Luar Negeri Perancis pada tahun 1952 mengatakan: "Bahaya yang sebenarnya mengancam kita adalah Islam. Untuk itu marilah kita beri apa yang dibutuhkan oleh dunia Islam serta menanamkan pada diri mereka perasaan ketidakmampuan untuk menjadi negara industri. Apabila kita lemah dalam pelaksanan strategi tersebut, maka kemungkinan besar ummat Islam mencapai kemajuan dan menjadi salah satu kekuatan raksasa di dunia untuk ke dua kalinya."

Bekas dictator Portugal, Salazar berkata: "Saya khawatir akan muncul ditengah umat Islam seorang tokoh yang mampu menyatukan potensi mereka dan mengarahkannya kepada kita."

Mungkin kita bisa bertanya; dimanakah posisi negara-negara muslim dewasa ini? Di saat negara-negara modern telah berbicara tentang berbagai revolusi besar yang hendak dijalankan; revolusi teknologi, revolusi biologi (geneologi, cloning, penemuan peta gen manusia dan lain sebagainya), revolusi elektronik, revolusi ruang angkasa, revolusi komunikasi, informasi dan seterusnya. Di mana posisi kita di tengah negara maju ini?

Dalam bidang pemikiran, para penjajah melahirkan antek-antek mereka dari anak-anak negeri untuk mempengerahui ummat Islam tentang cara berfikir yang benar. Mereka mengajak kembali kepada paradigma yang dimiliki oleh para penjajah tersebut bukan kembali kepada Islam. Dengan dalih mereka telah menemukan kemajuan dan sementara dunia Islam dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Jadi mereka menyerukan genarasi-generasi muslim untuk berkiblat kepada nilai-nilai yang diyakini para penjajah. Dan nilai-nilai ini bersandarkan kepada keyakinan, filsafat dan adat istiadat yang berkembang di tengah mereka. Sehingga tanpa disadari atau tidak, kita selaku ummat islam mulai menafikan akan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai pegangan dan pedoman dalam hidup.

Bahkan kita melihat banyak dari kalangan umat ini yang bangga dengan referensi Barat dalam bidang keilmuan yang seharusnya tidak layak untuk dijadikan sebagai referensi maupun rujukan utama. Seperti dalam bidang psikologi yang mengacu kepada pendapat Sigmun Freud, bidang sosiologi dan moral.

Seharusnya, umat ini ketika menjadikan Islam sebagai referensi utama, mereka harus kembali kepada Al-Quran, Al-hadits, Ijma', Perkataan Sahabat, Perkataan Tabi'in dan dalil-dalil yang dibenarkan dan diakui dalam terminology istinbat dan ijtihad.

Dari hasil kerja para penjajah sebelum mereka meninggalkan negara-negara jajahannya adalah keterbelahan jiwa ummat dalam memegang tali Allah SWT. Mereka menjadi minder ketika disebut muslim, mereka malu dan merasa terbelakang apabila ditanyakan tentang identitas dirinya sebagai muslim. Padahal seharusnya mereka berani menunjukkan dengan jelas apa identitas mereka dan siapa mereka? Hal ini dikarenakan seorang muslim memiliki identitas yang khas, kepribadian independen dan loyalitas yang jelas. Ia adalah pemilik risalah bumi dan pemikul panji dakwah universal yang berkarakter rabbaniah, insaniah dan akhlakiah.

Dampaknya dari itu semua, Rasulullah dan para sahabat tidak lagi dijadikan panutan dan suri tauladan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih bangga dengan budaya yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh dunia Barat kepada negara-negara muslim, khususnya Indonesia

Untuk menghadapi berbagai problematika umat dewasa ini, baik yang bersifat permanen dan inheren maupun yang bersifat kontemporer karena faktor eksternal, maka seluruh Umat Islam harus membangun kembali kesadaran akan agamanya dan mengaplikasikan nilai-nilainya dalam setiap dimensi kehidupannya.

Ada tiga fokus yang sangat mendasar, dimana setiap individu muslim harus memperbaiki dirinya dalam hal ini.

Pertama, Memiliki ilmu pengetahuan.

".Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (az-Zumar: 9)

".niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (al-Mujaadilah: 11)

Imam Syafi'i berkata, "Sesungguhnya jati diri seorang pemuda-demi Allah-ada dalam ilmu dan ketakwaannya. Apabila keduanya tidak ada dalam dirinya, maka ia bukanlah pemuda sebenarnya."

Kedua, Belajar secara kontinyu.

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali 'Imran: 104)

Ketiga, Berjuang sepanjang masa.

"Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (al-Hajj: 77-78)

Akhirnya, kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga kita termasuk orang-orang yang memulai untuk berbenah diri dalam menghadapi berbagai problematika ummat sekarang ini.

Allah wa Rasuluh A'lam Bishshawab


Written by Rahmat Arafah Al - Madany *
*Penulis adalah mahasiswa International Islamic Call College Tripoli Libya
http://www.artikel-indonesia.co.cc/2009/03/membangun-indonesia-melalui-sadar.html


Pendidikan untuk "Kaum Kecil"

Oleh : Faturochman dan Ambar Widaningrum*

Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan diharapkan sebagai
salah salu jalur untuk mengatasi ketidaksamarataan dalam masyarakat untuk
meningkatkan hidup rakyat miskin. Demikian bunyi kalimat yang sering terdengar
kalau kita bicara soal pendidikan dan kemiskinan.
Kemiskinan sebagai fenomena menghalangi orang-orang miskin mengambil
bagian dalam kesempatan yang sebenarnya ada, termasuk kesempatan
memperoleh pendidikan, disebabkan oleh ketimpangan struktur institusional
dalam masyarakat. Sistem pendidikan modern saat ini sebagai salah satu institusi
penting ikut mencerminkan ketimpangan struktur masyarakat sekaligus
melestarikannya.

Memang, kemiskinan seringkali membuat kita trenyuh. Mereka sering tidak
bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling dasar. Mereka
terkurung dalam perangkap kemelaratan. Tak berdaya dan tak mampu mengadu
nasib mereka yang bagaikan takdir malang. Setiap jalan untuk lolos dari lubang
kemelaratan seakan-akan tertutup.
Kenyataan ini lebih terasa pahit lagi kalau kita dihadapkan pada
kemakmuran yang dinikmati orang-orang kaya. Jurang semakin dalam
memisahkan .mereka yang punya" dari "mereka yang tidak punya". Orang yang
tak berpunya tersebut tentu juga sempat berpikir ingin seperti mereka yang punya.
Syukurlah kalau mereka lalu mulai berpikir keras dan sehat, artinya mereka
berusaha untuk bisa menjadi orang yang bisa hidup lebih baik. Tapi yang tidak kita
inginkan adalah keinginan yang membabi buta dan tidak dilandasi oleh pikiran
yang sehat.

Pada gilirannya, sering kita baca di koran-koran berita maupun majalah,
kasus-kasus kejahatan yang setelah ditelusur sebabnya, mereka dalam kondisi
.terjepit". Kondisi ini macam-macam. Mungkin karena terjerat hutang, atau perut
sudah sangat lapar sementara isi kantong sudah tidak ada dan sebagainya.
Miskin Bukan Bodoh
Kalau kita kembali ke kalimat awal tulisan ini, apakah harapan itu bisa
dikatakan realistis? Apakah justru pendidikan dapat memberi sumbangan yang
berarti untuk menanggulangi masalah yang begitu mendasar? Apa syaratnya
supaya pemerataan pendidikan sungguh-sungguh bisa berhasil? Memang tidak
mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Diantara para ahli ilmu-ilmu sosial pun tidak terdapat kesepakatan. Di satu
pihak, ada yang sangat mengandalkan pendidikan sebagai jalan keluar dari
kemiskinan. Di pihak lain, ada pula yang meragukannya.
Dalam lingkungan sosial yang miskin, kebanyakan orang memiliki
pendidikan yang rendah. Mereka sering belum melek huruf atau putus sekolah.
Dengan kata lain, mereka paling banter tamat pendidikan dasar. Kesempatan
untuk pendidikan lanjutan hampir tidak ada.
Di massa sekarang, keadaan selalu cepat berubah dan terus menerus
berubah. Taraf pendidikan yang sangat rendah pada umumnya berkaitan dengan
informasi dan pengertian yang serba terbatas. Dengan demikian, segala
kesempatan atau sukses juga serba terbatas.

Kita tahu, orang miskin yang kurang berpendidikan tidak berarti bodoh.
Namun kecerdikan dan kepandaian mereka mau tak mau terbatas pada
lingkungan sosial mereka yang sangat sempit dan lebih diwarnai oleh tradisi.
Itulah salah satu sebab mengapa mereka sering kurang berdaya
menghadapi dunia modem dengan segala resikonya, sehingga mereka mudah
dipermainkan dan ditipu atau barangkali menjadi korban pemerasan oleh orangorang
yang lebih pintar. Meskipun hal tersebut sering tidak terasakan olehnya.
Mereka tidak tahu menahu tentang bentuk kredit, hukum tanah, atau cara
pemasaran yang "modern". Itulah salah satu akar terdalam dari ketidakadilan
dalam aneka ragam bentuk.

Sebagai akibat, lingkungan sosial sebagai tempat dimana anak-anak miskin
dibesarkan dan dididik ikut terpengaruh. Perkembangan kognitif, intelektual, dan
mental mereka dengan demikian juga ditentukan oleh segala keterbatasan tadi.
Dalam hal ini sangat kurang adanya "rangsangan mental" yang diperlukan. Apa
yang dibahas di lingkungan keluarga, luasnya tema yang disinggung, informasi
yang diteruskan secara spontan, cara hidup sehari-hari, semua itu seakan
terbelenggu dalam lingkungan yang miskin. Kondisi inilah yang sering membuat
kita pesimis. Karena bagaimanapun anak-anak miskin itu kelak menjadi penerus
orang tuanya. Paling tidak penerus keturunan moyangnya. Apakah mereka juga
akan menjadi penerus kemiskinan?
Lingkaran Setan
Pendapat umum mengatakan bahwa kalau kita ingin hidup layak, kita harus
bekerja. Di satu sisi, kalau kita mengupas tentang dunia pasaran kerja, masukan
pasaran tenaga kerja hampir seluruhnya berasal dari keluaran lembaga
pendidikan formal.
Kalaupun ada yang tidak melalui pendidikan formal, persentasenya sangat
kecil. Kalau demikian halnya, agar anak-anak miskin dapat memasuki dunia yang
lebih cemerlang, dunia yang bebas dari kemiskinan, mereka harus masuk ke
dalam lembaga-Iembaga pendidikan.

Sementara itu, apa yang kita lihat sekarang ini? Menyekolahkan anak-anak
bukan sesuatu yang murah dan mudah dijangkau. Dimana-mana kita tahu, biaya
sekolah makin mahal. Mungkin dari iuran sekolah atau SPP tidak begitu menyedot
biaya, akan tetapi untuk yang lain-lain seperti fasilitas-fasilitas penunjang, bukubuku
referensi dan sebagainya. Justru dari "yang lain-lain" inilah butuh biaya yang
tidak sedikit. Lalu bagaimana dengan si miskin ini.
Tentu saja hasil proses pendidikan dan terutama prestasi di sekolah tidak
dikondisikan oleh lingkungan ekonomis melulu. Berbagai faktor lain juga ikut
berperan. Kemiskinan meliputi "miskin banyak hal". Jadi tidak hanya berarti hidup
serba sederhana tetapi juga berupa kelaparan dan kurang gizi. Lebih buruk lagi,
keadaan miskin juga sangat mempengaruhi kehidupan dan suasana lingkungan
keluarga. Padahal justru lingkungan keluargalah yang merupakan tempat
pendidikan paling dasar yang diperoleh anak manusia untuk bekal di kemudian
hari.

Apa yang diabaikan selama masa pendidikan informal ini, lebih-Iebih pada
usia bawah lima tahun, yang pertama-tama menjadi tanggung jawab orang tua
dan keluarga. Di kemudian hari, paling-paling bisa sekedar diperbaiki dan
dilengkapi. Akibatnya akan nampak pula kegagalan pendidikan sekoIah.
Dan semua itu, tidak dapat disangkal bahwa memang terdapat semacam
"Iingkaran setan" yang sangat mendalam pengaruhnya antara keberhasilan
pendidikan di satu pihak dan kemelaratan di pihak lain. Pendidikan orang miskin
kurang berhasil karena mereka memang miskin. Dan sebaliknya, mereka tetap
miskin karena kurang berhasil dalam pendidikan.

Untuk menanggulangi kenyataan tersebut, tidak bisa diharapkan dalam
jangka waktu pendek. Tetapi justru karena itu perlu ditangani dan diusahakan
dengan sungguh-sungguh. Kondisi itu akhirnya hanya bisa dipecahkah dengan
memerangi kemiskinan itu sendiri. Semua usaha lain hanya bersifat menunjang
dan melengkapi.

Pemerataan
Usaha pemerataan yang selama ini dilakukan perlu dilihat kembali.
Pemerataan tidak hanya berarti semua saling merasakan, mencicipi, mengalami.
Pemerataan juga mengandung arti keseimbangan porsi. Inilah yang selama ini
banyak diabaikan.

Egoisme kelompok menjadi beralasan bila pemerataan yang dimaksud
terbatas pada konsep yang demikian itu. Permasalahan ini muncul karena
kemampuan melaju dan mengembangkan diri tidak sama. Yang miskin hampir
tidak pernah bisa berpacu dengan mereka yang berkecukupan. Keadaan seperti
ini tentu saja tidak pernah mengangkat kredibilitas kalangan miskin.
Lantas apa yang bisa dilakukan untuk memutus lingkaran setan ini. Apabila
kita kembali kepada asumsi di depan, bahwa masalah berpangkal dari struktur
institusional, maka pemecahan juga mesti berawal dari sana.
Berbagai kebijaksanaan yang ada selama ini tampaknya dirancang dengan
begitu seksama. Tetapi tidak jarang masih ditemukan bias disana-sini dalam
pelaksanaannya. Deregulasi, misalnya, ternyata belum bisa dirasakan kalangan
bawah. Sementara itu banyak kalangan berkekuatan ekonomi menganggapnya
sebagai suatu terobosan yang menguntungkan.

Disinilah tampaknya ada beberapa hal yang bisa disisipkan agar lingkaran
setan itu akhimya bisa putus. Taruhlah pendidikan menjadi pangkal yang akan
digarap. Untuk mengangkat mereka yang miskin bisa diangkat melaui tingkat
pendidikannya. Karena dana dari mereka sendiri sangat terbatas, maka
pendanaan perlu dibantu.
Di beberapa negara banyak muncul semacam yayasan yang bersifat sosial.
Tugasnya antara lain membantu penderita cacat, orang tidak mampu, dan
kalangan yang memang perlu dibantu. Yang perlu diacungi jempol adalah
kenyataan bahwa yayasan-yayasan tersebut banyak diprakarsai dan didanai oleh
orang kaya. Terlebih lagi banyak yang melakukan secara tulus ikhlas.
Pemerintah juga tidak tinggal diam menanggapi mereka yang mau berbuat
baik. Potongan pajak dan kemudahan diberikan sesuai dengan jasanya itu.
Dengan kata lain ada kepedulian timbal balik. Mungkinkah hal seperti ini dilakukan
disini?

Program anak asuh beberapa tahun lalu sebenarnya sangat baik. Tetapi
tidak banyak orang yang tahu perkembangannya kemudian. Secara sepintas
barangkali bisa disebut surut dari peredaran. Sungguh sayang. Meski demikian
benih itu sudah disebar.
Yang diperlukan sekarang tampaknya penataan kembali. Mereka yang
memiliki banyak dana, perusahaan raksasa, konglomerat atau apa namanya, bisa
membalas jasa baik pemerintah dengan melakukan hal serupa. Pemerintah tidak
mungkin menyangga semua beban. Tanpa harus meminta fasilitas istimewa
sebenamya mereka sudah sangat beruntung. Untuk apa segala kemajuan ini
kalau bukan untuk sesama?

*Faturochman, dosen Fak. Psikologi UGM, tugas belajar di Flinders University,
Australia. Ambar Widaningrum, Asisten Peneliti di Pusat Penelitian
Kependudukan UGM.



Valentine

Karya : Ahmadi Haruna

Air mata jatuh
Basah kebaya
Oang tua berdoa tanpa pamrih
Pada anaknya

Air mata jatuh
Basah dipipi
Anak doa pada orang tuanya
Tulus penuh kasih sayang

Ibunda
Maafkan aku
Hanya cinta yang bisa kuberi
Hingga hari ini.
Jangan sedih
Aku selalu setia mengenangmu


14 Februari 2006
Sumber : Buku Kumpulan Puisi Ahmadi Haruna



Pantun Perempuan

Karya : Ahmadi Haruna

kucing kurus mandi dipapan
bukan kurus karena kurang makan
namun ingat sibuah hati
wanita sekarang ceking ceking barata sayang
bukan ceking lantaran cinta
namun ceking karena emansipasi

tak ada rotan akarpun jadi
saat ini tak ada akal ototpun jadi
tiba masa tiba akal
saat ini tiba musibah kehilangan akal

bersakit-sakit dahulu
bersenang- senang kemudian
itu kata pepatah kuno
saat ini senang dahulu
sakit akhirnya bukan masalah

putus cinta lahirkan hati patah
saat ini putus cinta gaet yang lain
karena cinta badan binasa
badan berdua soal biasa



Januari 2004



Kartini - Kartini

Karya : Ahmadi Haruna

Menangis diatas trotoar
Menari dipinggir trotoar
Makan diemper toko
Minum dengan tong kusam

Mata liar memandang arus
Memohon kasih untuk rupiah
Recehan jatuh dikaleng susu
Ibunda siap menghitung untung

Hari ini
Besok – lusa, entah sampai kapan
Ia tetap setia berdiri disana
Ah, kartini cilik
“mari bersekolah”




April 2006



Ibunda

Karya : Ahmadi Haruna
Katanya surga ditelapak kaki ibu
Tapi kita enggan memijit jika lelah
Katanya ibunda permata hati
Tapi kadang kita tak sadar menyakiti hatinya
Katanya ibu diatas segalanya
Tapi kadang kita lupa bawa berlayar dipulau
Harapan.
Katanya cinta ibu sepanjang masa
Tapi kita lupa memanjakannya
Katanya doa Ibu paling afdal
Tapi kita lupa minta restu
Pada setiap kegiatan.

Kata ibu sangat syahdu
Kata anak kadang sangar ditelinga
Ibu kehabisan kata-kata
Anak kehilangan pijakan.
Dosa anak lenyapkan sinar kehidupan.
Mari tafakkur…


Akhir tahun 2005



Apa itu MBS ?

Apa itu MBS?

MBS ialah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) .Program MBS ini akan diterapkan di 20 sekolah SD-MI dan SLTP-MTs di setiap kabupaten program MBS.

Tujuan Utama MBS?
Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.
Apa itu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)?
· Dalam rangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) alokasi dana kepada sekolah menjadi lebih besar dan sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri.
· Sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, termasuk pengadaan buku dan bahan belajar. Hal tersebut pada akhirnya akan meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di kelas.
· Sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitarnya dalam proses tersebut.
· Kepala sekolah dan guru dapat bekerja lebih profesional dalam memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak di sekolahnya.
Komponen Manajemen Berbasis Sekolah
Tujuan Program MBS adalah peningkatan mutu pembelajaran. Program ini terdiri atas tiga komponen, yaitu:
· Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
· Peran Serta Masyarakat (PSM), dan
· Peningkatan Mutu Kegiatan Belajar Mengajar melalui Penginkatan Mutu Pembelajaran yang disebut Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) di SD-MI, dan Pembelajaran Kontekstual di SLTP-MTs..
Kegiatan Program MBS
Kegiatan program MBS yang dilakukan di daerah meliputi hal-hal berikut:
· Pelatihan tim pelatih tingkat kabupaten
· Pelatihan sekolah dan masyarakat (kepala sekolah, guru dan masyarakat)
· Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) dan RAPBS oleh sekolah dan masyarakat
· Pelatihan untuk guru, termasuk pendampingan langsung di kelas oleh pelatih
Dana Operasional Sekolah
MBS perlu ditunjang dengan dana operasional sekolah, agar rencana yang dibuat oleh sekolah dan masyarakat dapat dilaksanakan. Saat ini dana yang diterima sekolah dari APBD pada umumnya sangat minim. Sekolah lebih banyak menerima dana dari Komite Sekolah. Jumlah dana dari APBD yang diberikan kepada sekolah secara langsung sangat perlu ditingkatkan.
Dampak MBS bagi Sekolah?
· MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah.
· Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang sekolah.
· Pelaksanaan PAKEM (Pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau Pembelajaran Kontekstual dalam MBS, mengakibatkan peningkatan kehadiran anak di sekolah, karena mereka senang belajar.




Nasionalisme Pancasila

Kecintaan terhadap sesuatu itu sangat diperlukan dan secara naluriah ada sejak manusia itu terlahir. Kecintaan itu terlahir bukan berdasarkan hasil buah pikiran manusia yang kemudian meresap kedalam sanubarinya tetapi secara alamiah memang sudah ada sejak nafas pertama terhembuskan. Kecintaan terlahir secara naluriah karena adanya berdasarkan naluri setiap mahluk, demikian pula manusia.

Seperti setiap bayi yang baru lahir dan kemudian diletakkan di perut ibunya maka secara naluri dia akan bergerak tanpa menggunakan otaknya (karena belum berfungsi) kearah atas, ke dada ibunya. Sebenarnya yang dicarinya adalah detak jantung sang ibu, bukan puting susu ibunya dan detak itulah yang dia kenal dan cintai selama 9 bulan selama didalam perut ibunya. Itulah yang disebut kecintaan, yang kemudian akan berkembang dan berubah menjadi kecintaannya kepada sang bunda, bukan sang ayah. Ayah adalah kecintaannya yang kedua.

Kecintaan inipun akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan berpikir dan nalurinya. Dari kecintaan seperti diatas kemudian berkembang menjadi kecintaan yang lebih komplek, yaitu kecintaan utamanya adalah kepada keluarga inti dan kecintaan keduanya adalah keluarga besarnya dan begitu seterusnya hingga mencapai kedewasaan berpikir berdasarkan pengalaman dan pendidikan maka kecintaannya dapat berkembang menjadi kecintaan yang lebih besar lagi yaitu kecintaan terhadap negara dimana dia menjadi warga negara dan merupakan kecintaannya yang utama.

Kecintaan kepada negaranya inilah yang kemudian akan melahirkan rasa kebangsaan yang besar dan kecintaan ini adalah bukan kecintaan milik pribadi, orang per orang tetapi milik setiap warga negara sebuah negara maka kecintaan ini akan mampu melahirkan sebuah ”isme” yang bersifat nasional dan selanjutnya dikenal sebagai ”nasionalisme”.

Jadi sebuah ”nasionalisme” adalah sebuah gerakan atas dasar naluriah atas kecintaan setiap warga negara sebuah negara terhadap negaranya sendiri, sehingga setiap negara akan mempunyai bentuk nasionalisme yang berbeda-beda dan tidak akan pernah sama satu dan lainnya. Nasionalisme adalah bersifat unik bagi setiap negara tetapi serupa bagi setiap warganya. Demikian pula ”nasionalisme” di negara kita tercinta, Indonesia, sangat unik karena merupakan kecintaan akan beragaman budaya, etnis dan suku serta agama, inilah bentuk dari Nasionalisme Pancasila.

Keaneka-ragaman budaya. Di pulau Jawa saja terdapat sedikitnya terdapat 2 ragam budaya dengan sub-budayanya masing-masing, Jawa Timur terdapat beberpa sub-budaya, Jawa tengah terdapat beberapa sub-budaya juga dan demikian pula sub-budaya Sunda, belum lagi budaya dengan sub-budaya lainnya yang terdapat di pulau-pulau di Indonesia. Kita wajib bangga dan menjaga ratusan ragam budaya milik kita, bangsa Indonesia.

Keaneka-ragaman etnis dan suku. Di pulau kalimantan saja terdapat beberapa etnis dan suku. Suku Dayak memiliki banyak sub-suku Dayak dengan ciri budaya dan bahasa daerahnya yang berbeda satu dengan lainnya, meski mereka masih dalam satu suku, Dayak. Dalam skala bernegara maka kecintaan utama adalah sebagai bangsa Indonesia tetapi dalam skala yang lebih kecil maka kecintaan utama adalah sebagai suku Dayak tetapi karena rasa kesatuan dan kebangsaan kita junjung lebih tinggi maka kecintaan sebagai bangsa Indonesia lebih diutamakan tanpa harus menghilangkan kecintaannya terhadap rasa kesukuannya.

Keaneka-ragaman agama. Di negara kita tedapat beberapa agama dan aliran kepercayaan yang sejak dahulu dapat hidup damai berdampingan bahkan saling membantu dan bahu membahu dalam banyak hal, baik dalam kebahagian maupun kedukaan. Kalaupun terdapat perselisihan maka hal tersebut lebih berdasarkan keegoisan sekelompok kecil orang, yang berusaha mempengaruhi orang lain dengan provokasi yang sebenarnya hanya demi kepentingan kelompok itu sendiri dan biasanya lebih dikarenakan pengaruh dari pihak-pihak di luar bangsa Indonesia, yang sangat mencintai kedamaian.

Keaneka-ragaman ini sebenarnya adalah kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia, yang tercermin dalam kalimat ”Bhinneka Tunggal Eka”, yang berarti ”Kesatuan dalam Keaneka-ragaman”. Satu Bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Satu Bangsa yaitu Bangsa Indonesia. Satu Tanah air yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Kecintaan terhadap bangsa dan negara ini tercermin dalam sebuah budaya bangsa kita yaitu “gotong royong”, sebuah kebersamaan dalam berbagai hal demi menuju rakyat Indonesia yang adil dan makmur, sejahtera. Demikian pula dalam penyelesaian sebuah perselihan di negara kita terdapat sebuah kebiasaan yang dikenal denga “musyawarah untuk memperoleh mufakat”. Sebuah budaya yang tidak terdapat di negara lain.

Dalam hal keaneka-ragaman beragamapun di negara kita sejak dahulu sangat dijunjung tinggi dengan tidak membeda-bedakan Tuhan setiap agama dan dengan mempergunakan azas pada alenia diatas disepakati ”Tuhan Yang Maha Esa”, yang berarti Tuhan yang memiliki keesaan yang ”Maha” atau lebih diatas keeasaan apapun juga. Ulasan ketiga alenia diatas tercermin dengan sangat jelas pada Pancasila dengan keLima silanya. Inilah dasar negara kita yang sangat hebat dan tak lekang oleh jaman jika kita mampu menafsirkannya dengan baik dan cermat.

Bagiamana tidak, kelima sila pada Pancasila tersebut mampu merangkumkan keaneka-ragaman budaya, etnis dan suku serta agama yang ada di bumi nusantara ini. Dan hebatnya lagi kelima sila tersebut dapat diringkas menjadi tiga isme utama, yaitu Nasionalisme, Internasionalisme dan Universalisme (Alam Semesta Raya / KeTuhanan). Nasionalisme sebagai rasa kecintaan terhadap bangsa dan negara Indonesia, sedangkan Internasionalisme adalah sebagai wujud kecintaan terhadap perdamaian dunia dan universalisme adalah wujud kecintaan terhadap keesaan sang pencipta alam semesta raya, Tuhan Yang Maha Esa.

Dan nasionalisme kita, bangsa Indonesia adalah Nasionalisme Pancasila, yang begitu hebat dan diakui di negara lain bahkan beberapa negara menjadikan Pancasila sebagai patrun dalam menjalankan roda bernegaranya, meski secara tidak jelas-jelasan. Misalkan alam hal HAM, banyak negara barat mulai meneriakkan hal ini tetapi sebenarnya Indonesia telah ada sejak diletakkannya Pancasila sebagai dasar negara, demikian pula halnya dalam kerukunan beragama.
Nasionalisme Pancasila adalah nasionalisme yang sangat unik dan mulai banyak ditiru negara lain, maka kita wajib menjaga Pancasila sebagai dasar negara serta mempertahankan rasa nasionalisme Pancasila dengan cara terus menerus membangun dan memupuk kecintaan pada Pancasila, Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap anak-cucu kita sejak sedini mungkin.

Kita dapat memulainya dengan lebih mencintai makanan bangsa kita sendiri, kebudayaan kita sendiri, kesenian kita sendiri dan lain-lainnya milik bangsa kita sendiri dari pada meniru dan mencintai milik bangsa lain. Bangsa lain mulai mempelajari budaya kita tetapi kenapa kita harus malu dengan kebudayaan kita sendiri.

Termasuk dalam hal sektor perdagangan dan ekonomi, kita memiliki budaya gotong royong bukan kapitalisme, yaitu suatu sistem kebersamaan dalam usaha dan perekonomian. Kita memiliki budaya saling asah asuh dan saling hormat menghormati tanpa harus merendah dan meninggikan derajat orang lain seperti yang tercermin dalam budaya feodal, budaya raja-raja sebenarnya tidak 100% milik kita, karena pada budaya kita antara pemimpin dan yang dipimpin adalah dengan duduk sejajar yang digambarkan dengan duduk bersila pada saat berdiskusi dan keputusanpun diambil dengan mufakat,bukan yang memimpin duduk lebih tinggi (duduk di kursi) daripada yang dipimpin (bersila dibawah) dan komunikasi diskusi cenderung satu arah.

Inikah budaya asli kita? Bukan, maka mari kita kembali kepada kaedah bangsa kita sendiri, bangsa Indonesia dengan rasa Nasionalisme Pancasila.

Merdeka!!!

Kanadianto
Jakarta, 12 Februari 2009
http://pnbkkotamakassar.blogspot.com/2009/03/nasionalisme-pancasila.html


KPU jangan berpolitik dan berpolemik

Seperti halnya lembaga-lembaga independen negara yang didirikan pasca-Soeharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk lembaga quasi-negara yang para komisionernya berasal dari berbagai kalangan dan bersifat independen. Artinya, mereka digaji dan difasilitasi
oleh negara, namun bukan merupakan subordinasi dari pemerintah atau lembaga eksekutif. Itu sebabnya, secara hukum, kerja-kerja mereka dilandasi dengan sebuah perundang-undangan. Mereka mendapat mandat dari lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melaksanakan segala sesuatu yang sudah diproses secara politik menjadi sebuah kebijakan publik yang sah dan mengikat.

Berdasarkan itu, bolehkah KPU berpolitik? Jelas tidak. KPU hanya berwenang melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh para elit politik di DPR. Terkait pemilu, maka KPU-lah penyelenggaranya. Di ranah dan ruang-lingkup itulah pula kelak KPU harus memberi pertanggungjawaban: penyelenggaraan pemilu. Soal bagaimana aturan main pemilu itu sendiri, tentu KPU juga tidak usah pusing dan repot memikirkannya. Sebab, aturan main merupakan bagian dari apa yang harus dipikirkan oleh para politisi di DPR.

Terkait itu, lalu mengapa untuk sekian waktu lamanya KPU sempat masuk ke dalam wacana “suara terbanyak versus zipper system”? Mengapa pula harus ikut-ikutan berpolemik, ketika wacana tersebut kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra terhadap zipper system? Bahkan salah seorang komisionernya, Andi Nurpati, pernah “ngotot” dengan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait zipper system itu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Heran sekali, kok terkesan KPU malah siap menabrak peraturan?

Tak heran jika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peringatan keras kepada KPU terkait itu. Menurut MK, tindakan KPU tersebut mencerminkan mereka tidak mengerti hukum. Sebab, berdasarkan konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK juga merupakan negative legislator yang kekuatannya setara dengan UU. “Keputusan MK sudah jelas. Saya ingatkan agar KPU tidak perlu berwacana tentang teori hukum. Kalau persoalan hukum, di sini (MK) sudah gudangnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, 18 Februari lalu.

Mahfud menegaskan, jika KPU beralasan memerlukan peraturan pemerintah perppu atau revisi terlebih dahulu, berdasarkan teori ataupun konstitusi yang berlaku, maka hal itu sama sekali tidak benar. “Yang memerlukan perppu atau revisi UU hanya yang menimbulkan kekosongan hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis pelaksanaannya,” katanya.

Rencana KPU mengatur satu dari tiga caleg (calon anggota legislatif) terpilih harus mewakili perempuan (zipper system) juga dinilai Mahfud sebagai ketentuan di luar putusan MK. Menurutnya, UU Nomor 10/2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK tidak mengharuskan wanita duduk di kursi DPR. “MK mengatur ketentuan dalam setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan dan itu tidak dibatalkan,” tegasnya. KPU seharusnya melaksanakan UU, termasuk pembatalan UU yang diputuskan MK. Artinya, kalaupun ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, KPU tidak berwenang mengatur.

Terkait dengan gagasan untuk kemajuan politik kaum perempuan di Indonesia , kita tentu saja patut mendukungnya. Kita harus bahu-membahu memperjuangkannya, di pelbagai sektor kehidupan dan di semua wilayah kedaulatan negara ini. Itulah sebabnya, penyadaran masyarakat akan keniscayaan kesetaraan gender perlu terus-menerus dilakukan. Artinya, ini harus menjadi pekerjaan rumah kita bersama, sekarang dan ke depan. Jadi, tidak perlulah KPU merasa bahwa lembaga ini sedang memikul beban berat demi memperjuangkan kemajuan politik kaum perempuan Indonesia. Artinya, ke depan, KPU tidak perlu lagi berpolemik di seputar wacana ini. KPU harus menyadari posisinya sebagai lembaga pelaksana dari hal-hal yang sudah diputuskan sebagai kebijakan publik oleh DPR.

Kembali pada zipper system, haruslah disadari bahwa di tahapan caleg hal ini sudah ditetapkan, bahwa setiap partai politik yang menjadi kontestan Pemilu 2009 harus menyediakan kuota 30% bagi caleg perempuan. Itulah sebentuk dukungan resmi negara ini bagi kaum perempuan demi mencapai kemajuan politiknya. Kalau zipper system mau diterapkan lagi di tahapan aleg (anggota legislatif) untuk para caleg terpilih nanti, mungkin bisa saja dipertimbangkan jika tidak ada keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”. Tapi soalnya, bukankah MK melalui keputusan terbarunya itu sudah menetapkan bahwa para caleg terpilih yang akan ditetapkan sebagai wakil rakyat nanti haruslah berdasarkan “suara terbanyak”?

Keputusan MK merupakan revisi dari UU Nomor 10/2008, sehingga karena itu ketetapan tentang “suara terbanyak” merupakan peraturan yang setingkat UU. Inilah hukum positif dan memiliki kekuatan yang mengikat publik. Ia jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak, agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, untuk hasil pemilu nanti, tak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum perempuan yang masuk ke lembaga legislatif.

Inilah yang harus dipahami secara klir oleh semua pihak. Siapakah yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para caleg? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat. Jadi, tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang turut serta). Itu pula sebabnya pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, dan pesta demokrasi adalah pestanya rakyat.

Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg menjadi aleg di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas.

Jadi, soal siapa-siapa nanti yang terpilih menjadi wakil rakyat nanti, biarlah rakyat yang memutuskannya melalui pemilu secara bebas. Entah laki-laki atau perempuan, kita semua harus menerimanya. Tidak satu pun pihak, termasuk partai politik yang bersangkutan, yang berwenang mengintervensi para caleg terpilihnya nanti.

Oleh Dr Victor Silaen, MA
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)



UU-BHP Ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia

Saat ini saya baru mendapatkan pertanyaan seorang teman mengenai pendapat saya mengenai UU-BHP, terus terang saya bukan ahli hukum ataupun ahli pendidikan yang bisa dibilang pantas dan mampu untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi saya mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan logika saya. Dari berita-berita di surat kabar ataupun situs dari Dikti serta Depdiknas saya membaca bahwa UU-BHP diadakan untuk meningkatkan kualitas Badan Pendidikan Indonesia untuk mampu memenuhi tuntutan Global yang menuntut kemandirian badan pendidikan Indonesia. Untuk itu saya akan memaparkan pendapat saya mengenai UU-BHP yang terbagi dari sudut pandang sbb:

Indonesia adalah negara sosial

Dalam pemahaman akan bentuk negara kita berdasarkan dasar negara dan UUD-45 sudah seharusnya bahwa pendidikan di Indonesia menjadi tugas negara yang memiliki nilai sangat strategis bagi pembangunan bangsa ke depan yang harus dilindungi dan didukung sepenuhnya oleh negara. Dalam pengertian dilindungi dan didukung sepenuhnya oleh negara adalah bentuk lama dari perguruan tinggi di Indonesia dimana di perguruan tinggi tetap bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat dan bukannya hanya bagi yang mempunyai uang ataupun dengan alasan subsidi silang sekalipun. Sebab dengan alasan tersebut secara tidak langsung apapun alasan untuk melepas perlindungan dan dukungan negara terhadap perguruan tinggi (dalam bentuk dana yang berdampak langsung terhadap rakyat Indonesia yang ingin menempuh ilmu di perguruan tinggi) sudah bertentangan dengan amanat dan tuntutan konstitusional. Dalam hal ini strategi terhadap pendidikan Indonesia harus sesuai dengan jiwa konstitusional (dasar negara dan UUD-45).

Tantangan global dan kemandirian badan pendidikan
Dalam pemahaman akan tantangan global serta kemandirian badan pendidikan dengan adanya perubahan dalam sistem pendanaan melalui UU-BHP justru melupakan salah satu faktor penting dalam pemahaman akan tantangan Global serta kemandirian tersebut. Dalam pemahaman akan tantangan global yang dimaksud adalah untuk meningkatkan jumlah rakyat Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi untuk bisa bersaing dalam dunia akademis dan dunia profesional secara global. Untuk itu justru negara justru berbeban untuk menambah quota kursi di perguruan tinggi serta mendukung rakyat untuk menempuh pendidikan tinggi, yang akan berakibat meningkatnya jumlah lulusan perguruan tinggi yang berkualitas secara significant (bandingkan jumlah penduduk dan jumlah lulusan perguruan tinggi). Sedangkan dalam kemandirian badan pendidikan justru yang dibutuhkan adalah lepasnya campur tangan oknum negara dalam penentuan jabatan dan fungsi dalam dunia pendidikan tinggi, dan peningkatan kemandirian perguruan tinggi untuk menjalankan amanat pendidikan nasional dengan dukungan dan perlindungan dari negara yang bisa dipertanggung jawabkan akuntabilitasnya utk publik dan negara.

Jika yang dimaksudkan tentang tantangan global dan kemandirian adalah bentuk perguruan tinggi di luar negeri, maka yang saya pertanyakan adalah kebijaksanaan lokal negara yang melupakan faktor-faktor penting mengenai jumlah penduduk, jumlah lulusan perguruan tinggi yang sama sekali tidak sebanding dengan situasi di luar negeri. Belum lagi jumlah dana pendidikan mereka serta pengalaman dan akses serta fasilitas yang mereka miliki. Seringkali negara memang melakukan studi banding dengan bentuk badan pendidikan di luar negeri, tetapi mereka melupakan fakta-fakta sejarah yang penting mengapa badan-badan pendidikan di luar negeri bisa menjadi seperti itu, badan-badan pendidikan di luar negeri sudah mempunyai pengalaman ratusan tahun lebih tua dan merekapun sudah pernah di dukung sepenuhnya oleh negara masing-masing ratusan tahun lamanya sebelum akhirnya mereka bisa menjadi badan pendidikan yang mandiri secara dana dan organisasi pendidikan, sejalan dengan situasi negara masing-masing. Jadi jika yang dijadikan alasan adalah untuk bersaing dengan dunia pendidikan global maka alasan tersebut sama sekali tidak masuk akal.

Ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia

Adapun ancaman yang paling penting bagi bangsa Indonesia adalah ancaman terhadap dunia pendidikan Indonesia. Jika dilihat dari pemahaman adanya UU-BHP ini serta akibatnya secara tidak langsung bagi rakyat Indonesia, maka yang terjadi adalah menurunkan peranan negara dalam dunia pendidikan (bertentangan dengan amanat konstitusi), menurunkan akses masyarakat tidak mampu terhadap dunia perguruan tinggi, walaupun mereka mampu untuk belajar di perguruan tinggi (jika dahulu ada 100 kursi di perguruan tinggi untuk 100 mahasiswa yang berhak masuk sesuai dengan kemampuan, maka sekarang perguruan tinggi berubah menjadi badan usaha yang mencari pemasukan untuk menutup biaya operasional yang ada sehingga 100 kursi yang ada akan di berikan kepada yang mampu membayar), menurunkan akses masyarakat ke perguruan tinggi yang berakibat melemahnya manusia Indonesia di persaingan global sebab negara bisa bersaing karena memiliki manusia-manusia yang berpendidikan (belum lagi jika diperbandingkan antara jumlah akademis dengan jumlah rakyat kita, jika diluar negeri hampir 30 - 40% rakyatnya sudah bergelar S1 dan mayoritas lulus SMU), bahkan dengan adanya kebebasan bagi pendanaan perguruan tinggi yang terbuka melalui sistem ekonomi global maka justru kemandirian dunia pendidikan Indonesia hanya bergantung pemilik modal semata (bahkan pemilik modal luar negeri) sehingga yang terjadi adalah bentuk imperialisme baru melalui sistem kapitalisme yang dari dahulu sudah di tentang oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers kita), belum lagi ancaman hilangnya ciri khas pendidikan Indonesia yang mempunyai muatan adat-istiadat, moral yang religius.

bahkan dalam gerakan perjuangan bangsa Indonesia para pilar-pilar negara serta founding fathers kita justru menekankan pendidikan sebagai ujung tombak pembangunan negara kita yang harus dilindungi dan harus didukung oleh negara.

Demikianlah kiranya tulisan saya kali ini, mungkin tidak bisa menjawab tetapi saya berharap bisa dijadikan bahan pertimbangan. Dan dibawah ini saya sertakan cuplikan tulisan dari Jurnal Indonesia Merdeka mengenai pendidikan massa baik untuk angkatan muda maupun kaum dewasa:

"Rakyat kita diperlakukan dan dibiarkan dungu. terserah pada kita untuk merubah keadaan itu dan memperbaikinya. Sekolah-sekolah rakyat yang pertama-tama harus kita selengarakan; di tempat-tempat itu pemuda-pemuda Indonesia di bawah bimbingan orang ahli berkumpul hampir setiap hari....... Pendidikan terutama sekali harus menyadarkan pemuda bahwa tujuan hidupnya adalah kemerdekaan Tanah Air. Dengan cara demikian kita memupuk warga negara yang cakap, yang siap berjuang untuk hadiah yang tertinggi bagi Tanah Air kita."

nb: perguruan tinggi yang dimaksudkan di titik beratkan kepada perguruan tinggi negeri

Christian Santoso
HBO-V Student Haagse Hogeschool Den Haag



 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact