Bicara tentang pendidikan, banyak orang terpaku hanya pada unsur akademis yang menjadi tolak ukur dalam kemajuan intelektualitas anak didik. Padahal ada banyak hal yang terkait di dalamnya, mulai dari perkembangan psikologis anak hingga pembentukan pribadi yang berkualitas.
Hal ini tak lepas dari definisi pendidikan itu sendiri, yaitu meningkatkan harkat dan martabat manusia. Itu sebabnya, pendidikan tak hanya dilihat dari segi pendidikan formalnya saja, tetapi juga perkembangan di bidang lain yang dialami anak. Keseimbangan inilah yang menjadi kartu As bagi setiap orang untuk menjadi seorang yang berkualitas.
Pada dasarnya, setiap anak membutuhkan stimulus untuk perkembangan dirinya sebagai manusia. “Stimulus itu merupakan pendidikan yang tentu saja harus disesuaikan dengan tahap perkembangan psikologi dan kebutuhan anak. Sebagai contoh, anak usia2-3 tahun belum mempunyai kemampuan motorik halus yang terkontrol. Alangkah tidak tepat bila kita memaksakan mereka untuk belajar menulis, maupun hanya membentuk huruf-huruf dasar,” ujar Anna Surti Ariani, Psi, psikolg anak dan keluarga dari Medicare Clnic.
Pasalnya, masih menurut Anna, yang dibutuhkan anak sebelum belajar membaca adalah pengenalan bentuk. Pada usia tersebut, bentuk lingkaran, segitiga, dan bujur sangkar bisa mulai diperkenalkan. Memasuki usia 3-4 tahun, bisa diajarkan yang lebih sulit, seperti bentuk segi lima atau segi enam. Mengapa demikian? Bentuk-bentuk inilah yang menjadi dasar membuat sebuah huruf. Bentuk lingkaran, misalnya, sama halnya dengan huruf “O”, bila diberi garis sebelah kiri agak panjang, akan membentuk huruf “P”, demikian seterusnya.
Hal ini diamini oleh A Budi Wiryawan, Head of Discipline santa laurensia, “Kami tidak mewajibkan anak di jenjang taman kanak-kanak (TK) untuk mampu membaca dan menulis. Di sini kami tidak tergesa-gesa dalam mendidik anak. Seperti di jenjang TK, kami lebih mempersiapkan anak mempunyai kesiapan belajar ke SD, sehingga lebih ke pembentukan mentalitas anak. Bukan mengajar baca-tulis seperti yang selama ini menjadi tolak ukur dan keinginan banyak orang tua. Di SD kelas 1, pelajaran itu baru di berikan karena secara psikologis anak sudah mampu memahaminya,” ujarnya.
Mendidik anak di usia ini hingga duduk di kelas dua atau 3 SD, masih ditekankan adalah tumbuhnya kesenangan anak untuk belajar, rasa ingin tahu, serta berani berdialog dan mempunyai rasa kepercayaan diri yang cukup untuk menyampaikan sesuatu. Pasalnya, di usia tersebut, kemampuan anak untuk menangkap hal yang bersifat abstrak dan berupa rumusan konseptual belum siap. Membawa hal-hal yang bersifat kongkret ke abstrak bukanlah hal yang mudah. Baru pada kelas 3-4 SD, mereka baru memahami arti aturan, abtraksi, dan lain-lain. Bila tidak dilakukan dengan hati-hati, justru bisa menimbulkan kesalahan konsep yang bisa berakibat fatal pada anak, yang memungkinkan anak menjadi sulit untuk mengembangkan ilmunya lebih lanjut.
Lagipulah, tamba Jeane Budiwati Tjandiagung, Head of Research & Development Santa laurensia, pendidikan yang mampu berjalan selaras dengan perkembangan psikologi anak akan memberi hasil yang lebih maksimal. Jika mendidik anak tidak sesuai dengan perkembangannya akan menjadi percuma, karena mereka justru akan merasa stres dan depresi.
SISWA SEBAGAI FOKUS
Penyelarasan antara pendidikan dan perkembangan psikologi anak tersebut tidak akan berjalan lancar bila tidak diimbangi dengan metode pembelajran yang tepat. Meski sejak dulu pendidikan di fokuskan pada anak didik, namun metode pembelajaran yang di ciptakan justru lebih fokus pada guru, di mana anak diajarkan duduk diam di dalam kelas. Seorang anak yang mampu mengikuti gurunya dengan cepat, dianggap sebagai anak berbakat.
Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Purborini Sulistyo, Curriculum Development Head Central School, setiap anak memiliki kondisi yang berbeda. Hal ini pun menuntut adanya metode pembelajaran yang kaya dengan variasi. Sebagai gambaran, ada anak yang lebih peka terhadaphal-hal yang bersifat musik, melalui visual, atau adapula anak yang tak bisa mengerti bila hanya membaca.
“Bakat setiap anak pun berbeda. Tinggal kami sebagai institusi sekolah menggali dan mengasah bakat yang di miliki tersebut, agar anak bisa tumbuh menjadi manusia yang bahagia bagi dirinya sendiri,” tambah Martinus Tukiran, Chief Operating Officer Central School.
Dengan cara lain, Antarina SF Amir, Managing Director High Scope Indonesia, menerangkan bahwa hal itu juga menyangkut dua paradigma besar dalam dunia pendidikan, yaitu paradigma behavioristik dan paradigma konstruktivitis. Cara-cara yang fokus pada guru cenderung mengikuti paradigma behavioristik, sedangkan yang berfokus pada siswa mengikuti paradigma konstruktivitis. Pada paradigma yang disebut terakhir, pembelajaran di lakukan secara kreatif dan produktif, di mana siswa menjadi penemu. Guru bukan satu-satunya pemegang otoritas pengetahuan di kelas, anak bisa di beri kemandirian untuk belajar dengan memanfaatkan beragam sumber belajar yang memadai, diberi peneguhan dan motivasi.
Bertolak dari hal tersebut, kini semakin banyak dikembangkan metode pembelajaran yang lebih menekankan pada perkembangan siswa atau lebih di kenal dengan sistim student center. Di sini setiap siswa dituntut untuk aktif di kelas, dalam diskusi, maupun dalam pembentukan konsep mereka masing-masing. Jadi, murid lebih bersikap aktif dan guru bertindak fasilitator.
Dengan diarahkan untuk membentuk pemahaman konsepnya sendiri, sifatnya akan lebih bertahan lama bila dibandingkan dengan cara didikte. Cara ini cukup efektif untuk terus menumbuhkan motivasi dan kemauan, serta rasa ingin tahu yang besar kapan sampai kapanpun, sehingga pengetahuan tidak pernah mandek. Beda halnya bila anak lebih banyak dijejali dengan berbagai hal,namun tidak memahaminya secara mendalam.
Dalam metode pembelajaran ini, teori multiple intelligences menjadi salah satu landasan yang diterapkan dalam proses belajar-mengajar sehari-hari. Yang dimaksud multiple intelligences itu sendiri merupakan pengembangan delapan area kecerdasan, yaitu logika, kata, musik, gerak, interpersonal, intrapersonal, kinestetik, alam, dan naturalis.
Teori tersebut pun dimasukkan ke dalam bentuk-bentuk pembelajaran yang diterapkan di setiap mata pelajaran, melalui permainan, dramatisasi, diskusi, maupun percobaan di labolatorium. Misalnya, saat mempelajari bahasa Indonesia, anak dituntut membuat puisi, membacakannya di depan kelas, membuat drama, dan sebagainya. Membuat puisi merupakan bagian dari intrapersonal dan emosi, proses membuat drama bersama teman adalah bagian dari interpersonal dan gerak, dan seterusnya.
Perubahan paradigma ini tentu saja harus selaras dengan pemahaman orangtua dari setiap peserta didik. Bila tidak, anak justru menjadi korban karena bingung untuk menerapkan nilai yang berbeda. Kesadaran ini diperlukan untuk memberikan keseimbangan dan proses tumbuh-kembang anak yang optimal. Seperti yang ditekankan oleh Wiryawan, setiap anak diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu menjadi pribadi yang utuh.
Sumber : Kompas
Pendidikan yang tak melupakan anak
Posted by
Bulo'a
, 2009-05-16 at 2:03 AM, in
Labels:
Materi Pendidikan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
hi...mau tanya dong bagai mana batasan - batasan seorang siswa dalam pendidikan?? (selain hak dan kewajiban)atau kata lainnya batas perilaku seorang siswa dalam dunia pendidikan??
Begitu juga dengan Guru, batasan - batasan seorang guru dalam mengajar siswa ?
kalau ada informasi tolong hubungi saya yahhh..???
pertanyaan saudara rasanya jika lewat komentar ini cukup panjang bahkan butuh diskusi apalagi jika kita bicara soal perilaku namun batasan siswa dan seorang guru dalam simpul yang sederhana adalah seorang siswa diharapkan tidak kehilangan jam belajar disekolah sebaliknya seorang guru diharapkan tidak kehilangan jam mengajar, semoga komentar singkat ini cukup.
Post a Comment