Mutu pendidikan di Indonesia di ketahui merupakan yang terburuk di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini disadari dan diketahui oleh pemerintah, seperti terungkap dari hasil rapat koordinasi bidang kesejahteraan yang diikuti empat menteri Kabinet Indonesia bersatu belum lama ini. Lalu pemerintah pun sepakat untuk menciptakan berbagai terobosan, antara lain sesegera mungkin mengakhiri segala bentuk ‘kompromi’ dan perilaku tak terpuji dalam penyelenggaraan praktek pendididkan.
Selain itu, pemerintah akan mengupayakan terciptanya keberanian untuk mengubah kerangka berpikir yang lebih mengedepankan integritas moral. Masyarakat sudah lama menunggu komitmen itu, mengingat lemah dan rendahnya sistim pendidikan nasional. Menurut sejumlah pakar pendidikan, Pendidikan nasional sekarang ini cenderung menghasilkan sumber daya manusia tingkat kuli, dan pembantu rumah tangga. Benar benar tragis.
Kita tentu masih ingat pada periode 1960-an hingga awal 1980-an banyak kaum muda negeri jiran berduyun- duyun menuntut ilmu di berbagai perguruan di Indonesia. Namun yang terjadi kini justru sebaliknya. Kebanyakan para pelajar Indonesia lebih memilih institusi pendidikan di Malaysia, Singapura, Australia, atau Thailand. Untuk meningkatkan kembalai mutu pendidikan nasional, sepantasnya bila pemerintah memberikan bobot perhatian yang lebih tinggi di bidang ini. Karena pendidikan merupakan kunci yang paling menjanjikan untuk menghasilkan SDM andalan.
Semakin liberal sistim ekonomi dunia, kian gencar pula serbuan SDM dari asing kepasar domestik, dan pada giliranya anak-anak bangsa ini akan menggigit jari sembari menjadi penonton bangsa lain yang mengeruk kekayaan dari bumi Indonesia. Untuk itu diperlukan keberanian mengoreksi kesalahan sistim pendidikan nasional yang dianut selama ini. Ada baiknya pemerintah mengajak para akademisi, baik yang di perguruan tinggi negeri maupun swasta, untuk ikut memikirkan langkah terbaik menuju penyempurnaan sistim pendidikan nasional, termasuk perbaikan atas sistim remunerasi bagi para pendidik.
Di sisi lain, hendaknya pemerintah juga jangan sampai menyerahkan sepenuhnya kebijakan bidang pendidikan kepada swasta. Artinya, swasta memang perlu diberi insentif dan atau kemudahan untuk ikut menyelenggarakan pendidikan. Namun mereka tetap harus mengikuti sistim kurikulum pendidikan nasional demi untuk menciptakan asas keselarasan. Masalahnya, ada kekhawatiran bahwa jika swasta diberi kebebasan penuh untuk melaksanakan pendidikan, kelak tidak akan ada lagi standar yang dapat menjadi acuan pendidikan di Indonesia. Kalau itu terjadi, akan muncul kesenjangan diberbagai lini, termasuk potensi kekacauan di kalangan pengguna tenaga kerja.
Selain itu, jika inisiatif penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara mayoritas oleh swasta, yang tentu menimbulkan konsekuensi biaya tinggi, ke mana lagi rakyat kebanyakan harus mengirimkan anak-anak mereka untuk menuntut pendidikan?
Bila sampai golongan marginal ini tidak mampu menggapai pendidikan sebagai upaya memperbaiki tingkat kehidupan mereka, bukankah hal ini akan menciptakan potensi bahaya baru kesenjangan sosial di masa datang? Bahaya ini perlu kita segera mengantisipasinya .
Selain itu, pemerintah akan mengupayakan terciptanya keberanian untuk mengubah kerangka berpikir yang lebih mengedepankan integritas moral. Masyarakat sudah lama menunggu komitmen itu, mengingat lemah dan rendahnya sistim pendidikan nasional. Menurut sejumlah pakar pendidikan, Pendidikan nasional sekarang ini cenderung menghasilkan sumber daya manusia tingkat kuli, dan pembantu rumah tangga. Benar benar tragis.
Kita tentu masih ingat pada periode 1960-an hingga awal 1980-an banyak kaum muda negeri jiran berduyun- duyun menuntut ilmu di berbagai perguruan di Indonesia. Namun yang terjadi kini justru sebaliknya. Kebanyakan para pelajar Indonesia lebih memilih institusi pendidikan di Malaysia, Singapura, Australia, atau Thailand. Untuk meningkatkan kembalai mutu pendidikan nasional, sepantasnya bila pemerintah memberikan bobot perhatian yang lebih tinggi di bidang ini. Karena pendidikan merupakan kunci yang paling menjanjikan untuk menghasilkan SDM andalan.
Semakin liberal sistim ekonomi dunia, kian gencar pula serbuan SDM dari asing kepasar domestik, dan pada giliranya anak-anak bangsa ini akan menggigit jari sembari menjadi penonton bangsa lain yang mengeruk kekayaan dari bumi Indonesia. Untuk itu diperlukan keberanian mengoreksi kesalahan sistim pendidikan nasional yang dianut selama ini. Ada baiknya pemerintah mengajak para akademisi, baik yang di perguruan tinggi negeri maupun swasta, untuk ikut memikirkan langkah terbaik menuju penyempurnaan sistim pendidikan nasional, termasuk perbaikan atas sistim remunerasi bagi para pendidik.
Di sisi lain, hendaknya pemerintah juga jangan sampai menyerahkan sepenuhnya kebijakan bidang pendidikan kepada swasta. Artinya, swasta memang perlu diberi insentif dan atau kemudahan untuk ikut menyelenggarakan pendidikan. Namun mereka tetap harus mengikuti sistim kurikulum pendidikan nasional demi untuk menciptakan asas keselarasan. Masalahnya, ada kekhawatiran bahwa jika swasta diberi kebebasan penuh untuk melaksanakan pendidikan, kelak tidak akan ada lagi standar yang dapat menjadi acuan pendidikan di Indonesia. Kalau itu terjadi, akan muncul kesenjangan diberbagai lini, termasuk potensi kekacauan di kalangan pengguna tenaga kerja.
Selain itu, jika inisiatif penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan secara mayoritas oleh swasta, yang tentu menimbulkan konsekuensi biaya tinggi, ke mana lagi rakyat kebanyakan harus mengirimkan anak-anak mereka untuk menuntut pendidikan?
Bila sampai golongan marginal ini tidak mampu menggapai pendidikan sebagai upaya memperbaiki tingkat kehidupan mereka, bukankah hal ini akan menciptakan potensi bahaya baru kesenjangan sosial di masa datang? Bahaya ini perlu kita segera mengantisipasinya .
0 comments:
Post a Comment