Majalah Child Development (Januari/Februari 2006) menerbitkan hasil penelitian tentang hubungan antara kemampuan membaca dan sikap agresif siswa sekolah dasar. Selama enam tahun (1996-2002), Sarah Miles dan Deborah Stipek dari Stanford University School of Education, California, Amerika Serikat, meneliti dan mengikuti perkembangan 400 anak TK Dan SD di pedesaan dan wilayah kota miskin di AS. Warna desa dan kemiskinan dipilih karena di lingkungan itu pendidikan anak-anak mudah terpuruk dan terabaikan.
Hal menarik dari penelitian Miles dan Stipek adalah ada keterkaitan antara tingkat kemampuan membaca dan tingkat agretivitas. Dalam penelitian ini, sikap agresif dibatasi dengan empat golongan, ”suka berkelahi”, ”tidak Sabaran”, ”suka mengganggu”. Dan ”kebiasaan menekan anak lain” (bullying).
”Anak-anak kelas 1 SD, yang kemampuan membacanya relative rendah, saat dikelas 3, cenderung memiliki tingkat agresivitas tinggi. Juga anak-anak kelas 3, yang memiliki kemampuan membaca rendah, cenderung memiliki sikap agresif tinggi saat dikelas 5,” ungkap Miles dan Stipek. ”Mungkin, bersamaan dengan tingkat pergaulan mereka, anak-anak yang kemampuan membacanya rendah itu frustasinya kian menumpuk. Keadaan ini yang membuat mereka agresif,” tambah kedua peneliti itu.
Sebaliknya, ada keterkaitan antara sikap social dan kemampuan membaca. Yang dimaksud sikap sosial adalah ”suka menolong”, ”mengerti perasaan orang lain”, ”punya empati”, ”punya perhatian kepada yang susah”. Anak-anak memiliki sikap social yang baik saat di TK dan kelas 1 SD biasanya lebih mampu mengembangkan kemampuan membacanya di kelas 3 dan kelas 5 SD, begitu kesimpulan Miles dan Stipek.
Hasil penelitian menyimpulkan pentingnya pendidikan dan pengajaran yang efektif dalam kemampuan membaca pada jenjang-jenjang awal SD, ank-anak yang kemampuaan membacanya rendah perlu diberi perhatian istimewa melalui bantuan pribadi atau sistim pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Penelitian soal kemampuan membaca ini memang hanya pada anak 5-9 tahun. Bagaimana dengan anak 9-14 tahun? Apakah tingkat kemampuan membaca mereka mempengaruhi kehidupannya dimasa depan? Apakah pemakaian pengertian ”kemampuan membaca”, sebagai tolak ukur, untuk ank usia 5-9 tahun dapat dipakai untuk menilai anak umur 9-14 tahun?
PISA
Programme for Internasional Student Assesment (PISA) adalah proyek Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tujuan proyek untuk mengukur tingkat pengetahuan dan tingkat keterampilan anak usia 14-15 tahun (usia akhir wajib belajar) sebelum dewasa. Pesertanya, anak-anak dari 29 negara maju dan beberapa Negara berkembang. Dari tiap Negara, diteliti 4.500-10.000 anak.
Penelitian PISA dilakukan tiap tiga tahun dengan focus berbeda-beda, tetapi tetap saling berhubungan. Fokus tahun 2000 (32 negara) adalah reading literacy (kemampuan memahami bacaan). Fokus tahun 2003 (40 negara), mathematical literacy (kemampuan memahami matematika) dan problem solving. Lalu focus tahun 2006 (57 negara), scientific literacy (kemampuan memahami sains). Pada setiap penelitian, hasil focus terlebih dahulu diteliti ulang. Dalam tiga penelitian PISA, meski diluar Negara-nagara OECD, Indonesia selalu ikut serta.
Hasil penelitian terakhir tahun (2003), dari 40 negara, Indonesia berada pada tingkat terbawah pada kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea, dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia usia 14-15 tahun baru pada tingkat satu. Artinya, hanya mampu memamahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia. Kemampuan untuk menafsirkan, menilai atau menghubungkan isi teks dengan situasi diluar terbatas pada pengalaman hidup umum.
Akibatnya, mereka akan sulit memakai kemampuan membaca untuk memperluas pengetahuan dan keterampilan bidang lain. Atas keadaan ini muncul dua akibat.
Pada usia 19-20 tahun, mereka mungkin baru mampu menyelesaikan SMA-nya. Atau jika pada usia itu sudah bekerja, besar kemungkinan untuk tersisih dipersaingan lapangan kerja.
Sistim semacam ini tentu mudah menyebabkan harga diri anak turun dan memicunya untuk memusuhi masyarakat dan lingkungan sekitar (Rutter dan Giller, 1983). Situasi kejiwaan semacam inilah yang mudah meningkatkan sikap agresif (Malden, Blackwell, dan Pitkanen, 1969).
Perubahan
Sejak dasawarsa 1990-an, konsep tentang kemampuan membaca sudah berubah. Kini, kemampuan membaca dipandang sebagai sebuah proses konstruksi dan interaksi. Pembaca adalah orang yang aktif membangun makna, memahami strategi membaca yang efektif, dan mengetahui bagaimana merefleksikan bahan bacaan (Langer, 1995;Clay, 1991). Minimal ada tiga aspek kemampuan membaca, yaitu aspek ”proses memahami”, ”tujuan membaca”, dan ”sikap dalam membaca”. Di sini tekananya tidak lagi ”belajar membaca”, tetapi ”membaca untuk belajar (hidup)”.
Dari sudut pandang ini, gerakan membaca hendaknya dimulai dan dipelihara sejak dini, dari rumah, perpustakaan, sekolah, dan ekologi media. Standar idealnya, orangtua membacakan bacaan kepada anaknya sejak di kandungan hingga TK. Penelitian menunjukkan, seorang anak bisa mendapat 4.000-12.000 kosakata baru dalam setahun melalui buku-buku yang dibacakan untuknya. Allan E Cunningham dan Keith E Stanovich (1998) menunjukkan, jumlah kata-kata baru pada buku anak-anak 50 persen lebih banyak daripada jumlah kata-kata baru yang diucapkan pada prime-time acara tv dewasa atau pada percakapan lulusan universitas.
Selain di keluarga, di sekolah perlu ada perpustakaan. Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan, jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah murid. Adapun untuk perpustakaan di kelas, idealnya ada tujuh buku untuk satu murid. Bagi Indonesia, ini bukan sesuatu yang mustahil. Membangun kemampuan membaca adalah bagian dari mendidik, terus dilakukan tanpa henti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
berikut penulisan yang menyinggung mengenai agresivitas
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1225/1/10507204.pdf
Post a Comment