SUARA HATI
this site the web

Khawatir Anggaran Pendidikan Tahun 2009 Membuat

Oleh : Muh. Tahir Pattola


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla kembali membuktikan kesungguhan pemerintah di sektor pendidikan untuk melakukan perbaikan mutu pendidikan negeri ini ketika, “gemuruh suara tepuk tangan” dalam Ruang Sidang Paripurna Anggota DPR RI (16.08.08) menyambut pernyataan Presiden, “Pemerintah akan menaikkan anggaran pendidikan tahun 2009 yang akan datang menjadi Rp 224.000.000.000.000”-. Anggaran pendidikan” paling besar “ pertama kali dalam sejarah pendidikan bangsa Indonesia.

Ada kekhawatiran pemanfaatan anggaran pendidikan tahun 2009 pada tahun terakhir KIB pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla akan berakhir pula membuat, “masyarakat bertepuk sebelah tangan”. Ini dimungkinkan terjadi apabila, “Guru sebagai mediator utama mencerdaskan kehidupan bangsa kurang memberikan kesempatan kepada anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang bermutu secara merata,”(UU Pendidikan NO. 20 tahun 2003). Sayang sekali kalau itu terjadi. Di dunia internasional anak-anak Indonesia dikenal luas memiliki potensi dan prestasi luar biasa pada Olimpiade Internasional Fisika Singapura (2006) Indonesia juara umum mendapatkan lima medali emas, satu di antaranya Winner Up Absolute. Mengalahkan negara raksasa pendidikan China, Korea Selatan, A.S., Taiwan dan Hungaria. Sementara presiden baru Amerika Serikat Barrack Obama ingin mengejar pendidikan ke China dan India. Seharusnya menjadi stimulans perbaikan pendidikan Indonesia ke depan. Sedikitnya ada 3 fenomena aktual penyebab kurang memberikan kesempatan kepada anak-anak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang bermutu:

Pertama, Kekurangan Guru di sekolah menyebabkan sebagian guru harus “rela” bekerja melebihi kewajibannya mengajar “merangkap kelas” meskipun pemerintah melalui Menteri Penertiban Aparatur Negara setiap tahun melakukan kebijakan pengangkatan guru bantu SD dan SM sehingga “guru bertambah terus” akan tetapi di mana-mana masih ditemukan guru mengajar “merangkap kelas” telah membudaya membuat anak-anak Indonesia “kurang senang belajar” dan mendorong terjadinya putus sekolah. “Inilah awal mulainya anak-anak Indonesia kurang mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu secara merata”.

Di Indonesia “sekolah lengkap gurunya pun” sewaktu-waktu terancam kekurangan guru “temporer” terjadi “tiba-tiba” ketika pimpro provinsi mengundang 1000 guru mengikuti pelatihan sertifikasi selama 9 hari, pada waktu bersamaan 1.000 guru lain mengganti mengajar ± 40.000 siswa belajar dalam suasana “kurang menyenangkan” kondisi pembelajaran seperti itu berlangsung terus ketika guru mengikuti rapat, seminar/lokakarya, mogok mengajar, demo, mengikuti perayaan atau lomba, izin, sakit, alfa dan kepentingan lainnya. Sebaliknya ketika guru di dalam kelas “siap mengajar” sebagian siswa tawuran, keracunan, kesurupan serentak, mendemo Kepala Sekolah dugaan korupsi, pelecehan seksual siswanya, kerusuhan, sekolah rusak, sekolah menampung korban bencana alam, dan lain-lain. Waktu belajar efektif terancam berkurang dari “sekurang-kurangnya 200 hari dan sebanyak-banyaknya 245 hari kerja setahun”. (UU Nomor 125/U/2003). Indonesia bebas dari kekurangan guru tetap menjadi impian sejak dulu sampai sekarang.

Kedua, Ujian Nasional (UN) sebagai parameter peningkatan mutu pendidikan tinggal 3 bulan lagi pelaksanaannya. Suatu perkiraan pemerintah tetap konsisten, “menaikkan standar nilai UN” meskipun masih tetap di bawah standar nilai normatif “ 6 ”. Demikian juga akan, “mengulang keberhasilan melaksanakan UN dengan baik atau menurut cara semestinya” seperti UN SMP Juni 2008 tanpa kebocoran dengan tetap melibatkan, “TPI dari Dosen dan Mahasiswa (PT), guru-guru Madrasah (Depag), Kepolisian dan Densus 88 Antiteror mengawal naskah ujian”, walaupun cara seperti itu membuat atmosfer dari “H” ujian yang lalu bagaikan “swiping ujian nasional” boleh jadi cara itu hanya ditemukan di Indonesia. Selain kedua kebijakan tersebut, kebijakan lain mengenai kelulusan siswa pada UN tahun 2009 yang akan datang tetap “diberikan kemudahan” (nilai 4,00 untuk dua mata pelajaran yang diujikan dan 4,25 satu mata pelajaran lain dinyatakan lulus walaupun standar nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan). Itu isyarat bahwa Depdiknas “belum optimal bekerja” bahkan sebaliknya, “mundur 5 tahun dalam meningkatkan mutu pendidikan,” oleh karena standar UN 5 tahun lalu 4,00 membuat anak tidak lulus, kembali dijadikan acuan penentuan kelulusan tahun 2009, akibatnya visi misi Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla untuk mengejar ketertinggalan bangsa Indonesia dengan negara-negara di dunia yang telah lebih dahulu maju pendidikannya “makin tidak terkejar” sekalipun, “KIB Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla bertambah 5 tahun lagi”, sehingga asumsi standar UN Indonesia baru bisa mencapai angka 7 atau 8 menyamai Singapura dan Malaysia yang telah mencapai angka 7 dan 8 “sejak dua tahun lalu”.

Dalam kondisi ideal kebijakan itu “tidak perlu dilakukan atau terjadi” dalam pendidikan kita apabila, “sekolah dan guru-guru sanggup melaksanakan UN dengan baik, lebih jujur, dan independen atau menurut cara semestinya, konsisten sejak hari “H” awal tahun pelajaran membangkitkan semangat belajar, membimbing, dan melatih siswa dalam suasana pembelajaran yang menyenangkan bahkan asyik (joyful, fun), menanamkan sikap jujur, percaya diri, dan daya saing. Momentum hari “H” UN dipandang warga sekolah sebagai hari unjuk prestasi siswa, untuk membuktikan jati diri sebagai “leaners” atau pembelajar sejati”.

Guru dituntut terus perannya konsisten berbuat seperti itu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswanya untuk memperoleh pendidikan bermutu. Sayangnya, “melakukan seperti itu merupakan kesulitan bagi kebanyakan guru kita,” akibatnya, “Apa yang dapat dilakukan guru secara terus-menerus (konsisten) sebagai perwujudan dari hasil pelatihan sertifikasi itulah kompetensi guru kita rata-rata rendah”. Di antara 36 guru sebuah SMP SSN Kota Makassar mengikuti UN kompetensi guru tahun 2004-2005 tidak ada guru “lulus” mencapai nilai standar kompetensi minimal 75%. Nilai kompetensi guru rata-rata 45%. Di antara mereka ada 7 guru instruktur dan sejumlah guru pembina (gol. IV/a).

Ketiga, Kompetensi Guru mendapat reaksi keras dari pemerintah melalui UU Guru dan Dosen, Nomor 14 tahun 2005, “perjuangan panjang PGRI” Depdiknas melakukan kebijakan sertifikasi untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru. Tahun 2006 sampai dengan 2008 berhasil mensertifikasi 300.000 lebih guru SD dan SM dari target 2,7 juta guru dalam program 10 tahun. A.S lebih lambat dalam 10 tahun (1997-2006) hanya mensertifikasi 10.000 guru. Sayangnya implementasi hasil sertifikasi baru sampai pada “semangat mengedepankan tuntutan terhadap hak guru masih lebih dominan ketimbang guru melaksanakan kewajibannya. “Ketua Rayon 24 Universitas Negeri Makassar, Dr. Eko Hadi Sujiono M.Si., dalam Seminar dan Diskusi Pendidikan (kerja sama Tribun Timur dengan Dinas Pendidikan Provinsi Sul-Sel. 26.08.08) menuturkan, “setiap hari saya menerima hampir 100 SMS isinya cuma satu”. Kapan Pak tunjangan fungsional guru turun? Tidak ada guru atau Lembaga Pendidikan yang melaporkan, Pak Doktor saya telah mengikuti proses sertifikasi dan telah melaksanakan evaluasi ini itu”. Di luar sekolah, “Guru bersama PGRI ke DPRD unjuk rasa menuntut pembayaran tunjangan fungsional guru yang telah dijanjikan oleh Pemda”. Di sekolah, “Guru belum melihat perubahan signifikan guru pasca disertifikasi baik cara mengajarnya masih biasa-biasa maupun ke sekolah sering terlambat dan pulang lebih cepat”. Tunjangan dan gaji guru meningkat tajam, “belum mendorong meningkatnya kinerja guru“. Gaji guru menuai protes profesi lain. Di dalam kelas siswa menyoroti, “Guru PNS mengajar kebanyakan menyuruh anak-anak buka bukunya dan pelajari sendiri. Biasa guru malas menerangkan. Selesai pelajaran anak-anak diberikan soal-soal untuk dikerjakan. Menghadapi ujian kami didorong terus belajar dan bekerja sama dalam ujian. Guru mengaku ada soal ujian belum pernah diajarkan kepada kami, guru PNS sering tidak masuk mengajar sedikit-sedikit rapat, gajinya lumayan, kerjanya sedikit, dan tidak takut melanggar aturan sekolah,” Pengawas mengklaim ketika melakukan supervisi ke sekolah, Pertanyaan sertifikasi semua dijawab baik guru, ketika dikroscek langsung kepada siswa dalam kelas guru lebih banyak berceramah dan menyuruh menyalin”.

Diakui atau tidak diakui fenomena aktual potret kompetensi guru seperti di atas menunjukkan bahwa upaya keras pemerintah dalam 3 tahun terakhir meningkatkan kualitas kompetensi guru sekitar 11% sementara bagaikan, “Mengulang kegagalan pemerintah masa lalu dalam meningkatkan profesionalisme guru selama 30 tahun lebih melalui Penataran Guru atas bantuan pinjaman dana dari Bank Dunia berjangka 30 tahun.”

Disadari atau tidak disadari tidak terhitung kebijakan dan program pendidikan berskala internasional telah diterapkan oleh pemerintah kita, “di negara lain bisa berhasil” akan tetapi di Indonesia setiap kebijakan atau program pendidikan kerap kali, “kurang berhasil dalam implementasinya di sekolah”. Penyebab utamanya adalah, “Kelemahan melakukan pencegahan terhadap orang berbuat salah” yaitu kelemahan birokrasi pemerintahan kita selama ini sampai sekarang belum dapat diatasi tuntas oleh pemerintah kita peringatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pejabat teras, penegak hukum, dan peradilan seluruh Indonesia di Mahkamah Agung (malam hari dua tahun silam). Sayang sekali penentu kebijakan di tingkat bawah sampai unit utama satuan pendidikan (sekolah) kurang respek memberikan, “atensi yang dalam “ dan “ aksi nyata” terhadap peringatan Presiden sehingga penggunaan paruh anggaran pendidikan peruntukan Depdiknas tahun 2009 dari akumulasi Rp 224.000.000.000.000,- bakal sulit, “Mengulang tepuk tangan keduakalinya anggota DPR RI Dalam Sidang Paripurna akhir tahun anggaran 2009 yang akan datang” karena kecewa dan masyarakat sebagai pemilik pendidikan akan “bertepuk sebelah tangan” juga karena kecewa.

Langkah cepat dan tepat perlu dilakukan untuk menyelamatkan pendidikan Indonesia kedepan khususnya pendidikan dalam lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, “Membangun pengawasan pendidikan yang tangguh berbasis lingkungan pembelajaran yang holistik sebagai kunci utama.” Dengan berbuat demikian masyarakat berharap anggaran pendidikan peruntukan Depdiknas tahun 2009 “tidak mubazir” sehingga bermakna sesuai amanat UUD 1945.

Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional menyewa KPK/BPKP/PT untuk melakukan pengawasan ekstra dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program pendidikan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan korupsi anggaran pendidikan tahun 2009 adalah cara baik dan tepat. KPK: sektor pendidikan akan menjadi salah satu fokus penyelidikan tahun 2009 patut diberikan dukungan.

Kembalikan Peran Guru

Sebuah Tinjauan Oleh Ahmadi Haruna

Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun 2006 yang lalu terus menuai kritik karena dianggap tidak menggambarkan prestasi belajar siswa secara keseluruhan. Ironisnya, peran guru pun diabaikan. Ketua Komnas Perlindungan Anak, (PA), Seto Mulyadi menegaskan bahwa sebaiknya fungsi evaluasi bagi kelulusan siswa sebaiknya dikembalikan saja kepada para guru. Dalam undang-undang No 20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 58 (1) dimana secara tegas dijelaskan bahwa hasil evaluasi siswa dilakukan oleh pendidik, dan pasal 58 ayat 2 juga menyebutkan evaluasi dari lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional.

Untuk evaluasi yang dilakukan oleh lembaga mandiri di luar pendidik, itu hanya untuk tujuan pemetaan saja, sementara untuk penentu kelulusan tetap berada pada guru.

Campur tangan pemerintah dalam menentukan kelulusan siswa yang mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk para pendidik, tidak membuat pemerintah goyah, apalagi mengiliminir keputusan standar UAN yang sudah ditetapkan. Bahkan, Wapres Yusuf Kalla yang sangat getol mempersoalkan pendidikan nasional kita menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada ujian ulangan bagi para siswa yang sudah dinyatakan tidak lulus ujian nasional. Ujian susulan, menurut dia hanya membuat siswa manja dan tidak mendidik siswa untuk lebih rajin belajar.

Pernyataan Yusuf Kalla ini langsung ditanggapi serius oleh sebagian besar pendidik, Siswa yang tidak lulus pun tak ketinggalan mengumbar komentar yang cukup pedas.

Romanus Harga Pramudya, siswa SMA Kolese De Britto, Yogyakarta, menilai pernyataan Yusuf Kalla sangat naïf. “Saya memang bukan siswa yang cerdas bahkan saya juga tidak lulus, tapi saya dinyatakan diterima di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada melalui jalur ujian masuk yang mempunyai soal dengan tingkat kesulitan lebih tinggi daripada UAN. Apakah siswa yang malas belajar, bisa diterima di Universitas yang bergengsi dengan mengalahkan beribu-ribu orang, dan ujian masuk hanya berselang 1 bulan dari UAN,” Tanya Romanus.

Apa yang tengah dihadapi oleh sistim pendidikan nasional kita tampaknya harus disikapi secara bijaksana. Apa yang menjadi keinginan pemerintah untuk mengangkat kuailitas pendidikan patut kita hargai. Namun demikian, kita juga tidak serta-merta mengabaikan peran guru yang lebih paham dengan anak didik mereka.

Memang sangat tidak bijaksana jika kelulusan seorang siswa hanya diukur dengan tiga mata pelajaran saja. Masih banyak mata pelajaran yang harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah seorang siswa cerdas atau tidak. Dan, yang lebih tahu semua itu adalah guru mereka disekolah.

Jika memang ukuran kecerdasan hanya dipatok pada tiga mata pelajaran saja, mungkin lebih baik mulai sekarang kurikulim kita rombak. Artinya, sekolah hanya mengajarkan tiga mata pelajaran saja yakni matematika, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia saja. Mata pelajaran yang lain cukup dimasukkan kedalam pelajaran ekstra kurikuler saja. Jika kurikulum seperti itu diterapkan, kita tentu bisa sangat yakin siswa kita akan sangat cerdas, dan pasti sedikit yang tidak lulus UAN.

Namun, bila hal itu dilakukan, tentu akan menimbulkan masalah baru. Entah apa jadinya siswa kita jika mereka hanya pandai pada tiga mata pelajaran itu. Makanya pemerintah perlu bersikap arif dan bijaksana dalam melihat semua aspek dalam sistim pendidikan kita. Apa salahnya, jika masalah pendidikan diserahkan kepada sekolah masing-masing. Kembalikan kewenangan meluluskan kepada guru karena merekalah yang lebih paham. Sedangkan peran pemerintah ataupun lembaga mandiri, tidak lebih hanya memantau sekolah mana yang perlu bantuan agar pelaksanaan pendidikan berjalan lancar. Bukan terlibat langsung menentukan kelulusan siswa.

Untuk menuntaskan persoalan yang cukup mendasar ini, sudah seharusnya pemerintah dan lembaga pendidikan yang ada duduk satu meja, menyatukan visi dan misi serta menentukan arah pendidikan nasional yang lebih jelas untuk diwujudkan.

 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact