SUARA HATI
this site the web

Kurikulum berbasis kompetensi sekolah – Dihadang Waktu

Oleh : Ahmadi Haruna

Memasuki tahun ajaran 2006/2007 sekolah diberi kebebasan dan menentukan pola pembelajarannya masing-masing. Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan nomor 22, 23 dan 24, sekolah diberikan otonomi untuk membuat kurikulum pendidikan yang akan diterapkan.
Kurikulum yang baru ini mengacu pada kurikulum 2004 yang merupakan kurikulum nasional berdasarkan standar isi dan kompetensi. Atau disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan dasar diatas, maka setiap sekolah diwajibkan untuk membuat kurikulum bekerjasama dengan Komite Sekolah dan ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Kebijakan menyerahkan pembuatan kurikulum kepada pihak sekolah, agar segala kemampuan dan kreativitas siswa dapat tergali. Sebab sekolah yang bersangkutanlah yang mengetahui betul kondisi anak didiknya. Peran pemerintah dalam penetapan kurikulum ini, hanya sebatas pada menentukan standar minimum secara nasional yang harus dicapai oleh setiap sekolah pada akhir semester. Selain itu, dengan kebijakan ini maka kurikulum yang dipakai di tiap sekolah bisa saja berbeda, sehingga tidak ada lagi buku wajib untuk sebuah mata pelajaran.
“Sekolah diharapkan sudah menerapkan kurikulum baru ini pada tahun ajaran yang sudah berjalan sekarang ini. Sekolah yang belum mampu, untuk sementara bisa menggunakan kurikulum sebelumnya,”ujar Kasi Kurikulum Subdin Menum, Drs. Mukhlis P. Msi. Menurutnya kendala utama dalam pemberlakuan kurikulum baru ini adalah mepetnya waktu. Sehingga sampai saat ini belum ada sekolah yang bersedia dan siap dengan kurikulum tersebut. Sedangkan -menurutnya, seluruh elemen sekolah harus dilibatkan untuk pembuatannya, sementara proses belajar mengajar untuk tahun ajaran baru ini sudah berjalan.
Selain itu, kemampuan guru untuk membuat kurikulum saat ini belum merata. Untuk itu, kata Mukhlis, pihak Dinas Pendidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no. 24 memberikan waktu hingga tahun ajaran 2009/2010. Kurikulum tersebut sudah harus di buat oleh setiap sekolah.
“Disinilah partisipasi Dinas Pendidikan untuk memberikan masukan dan penyegaran dalam rangka pembuatan kurikulum baru tersebut. Diminta kepada seluruh Dinas Pendidikan Kota untuk memploting pelaksanaan kurikulum baru ini,” jelasnya.
Untuk awal tahun ajaran ini, husus di Sulawesi Selatan, kata Mukhlis, sekolah yang diharapkan untuk menjalankan kurikulum ini adalah sekolah yang menjadi pilot project Dinas Pendidikan Sul-Sel. Sekolah tersebut diantaranya adalah, SMA 5, SMA 3, SMA 2 Tinggimoncong. Sedangkan untuk tingkat SMP ialah SMP Athirah, SMP 6, SMP 1 Pallangga, SMP 1 Bontomarannu, SMP 1 Mandai.
Adapun mekanisme pembuatan kurikulum tersebut, rancangan yang telah dibuat oleh masing-masing guru mata pelajaran, diserahkan kepada kepala sekolah untuk diperiksa dan ditandatangani, rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Dinas Pendidikan Kota untuk disahkan menjadi kurikulum. Sedangkan untuk SMA pengesahannya dilakukan di Diknas Propinsi.
“Salah satu syarat kurikulum ini adalah, waktu belajar dalam seminggu tetap 32 jam, terserah sekolah ingin menambah pelajaran lain tapi tidak boleh mengurangi pelajaran yang sudah ada,” jelas Mukhlis.

Diversifikasi Kurikulum
Kebijakan penyerahan pembuatan kurikulum kepada sekolah, sangat memungkinkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah satu dengan sekolah yang lainnya. Namun tidak menutup kemungkinan juga sekolah melakukan kerjasama dalam pembuatan kurikulum.
Disverifikasi kurikulum memang dipastikan terjadi. Untuk itu, diterapkan standar minimum yang harus dicapai oleh sekolah dalam setiap semesternya. Pembuatan soal untuk ujian, misalnya ujian nasional yang dilaksanakan Diknas pusat berpatokan pada standar tersebut, sehingga penilaiannya merata pada seluruh siswa.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri akan ada kesenjangan kemampuan siswa antara sekolah unggulan dan non unggulan, sealain kemampuan siswa yang berbeda, kompetensi guru yang memberikan pelajaran juga berbeda. Untuk mengantisipasi hal tersebut, kembali lagi kepada aturan penetapan standar kompetensi minimum. Sekolah yang selama ini kemampuanya berada dibawah standar kompetensi, diwajibkan untuk bisa mencapai kompetensi standar tersebut dan akan ditingkatkan secara berkala.
Bagaimana jika standar kompetensinya tidak dicapai oleh sekolah?, konsekuensinya adalah siswanya tidak akan lulus. Sebab, standar minimum tersebut ditetapkan setelah melihat kemampuan sekolah.
Untuk penanganan sekolah yang berada di daerah terpencil dengan jumlah guru yang minim, diserahkan sepenuhnya kepada Dinas Pendidikan Kota untuk menangani kurikulumnya.
Ini adalah untuk pengembangan dunia pendidikan kita, sekolah yuang bersangkutanlah yang mengetahui potensi bakat yang dimiliki siswanya sehingga diserahkan sepenuhnya penanganan kurikulumya.






0 comments:

Post a Comment

 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact