SUARA HATI
this site the web

KPU jangan berpolitik dan berpolemik

Seperti halnya lembaga-lembaga independen negara yang didirikan pasca-Soeharto, Komisi Pemilihan Umum (KPU) termasuk lembaga quasi-negara yang para komisionernya berasal dari berbagai kalangan dan bersifat independen. Artinya, mereka digaji dan difasilitasi
oleh negara, namun bukan merupakan subordinasi dari pemerintah atau lembaga eksekutif. Itu sebabnya, secara hukum, kerja-kerja mereka dilandasi dengan sebuah perundang-undangan. Mereka mendapat mandat dari lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melaksanakan segala sesuatu yang sudah diproses secara politik menjadi sebuah kebijakan publik yang sah dan mengikat.

Berdasarkan itu, bolehkah KPU berpolitik? Jelas tidak. KPU hanya berwenang melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh para elit politik di DPR. Terkait pemilu, maka KPU-lah penyelenggaranya. Di ranah dan ruang-lingkup itulah pula kelak KPU harus memberi pertanggungjawaban: penyelenggaraan pemilu. Soal bagaimana aturan main pemilu itu sendiri, tentu KPU juga tidak usah pusing dan repot memikirkannya. Sebab, aturan main merupakan bagian dari apa yang harus dipikirkan oleh para politisi di DPR.

Terkait itu, lalu mengapa untuk sekian waktu lamanya KPU sempat masuk ke dalam wacana “suara terbanyak versus zipper system”? Mengapa pula harus ikut-ikutan berpolemik, ketika wacana tersebut kemudian memunculkan pendapat pro dan kontra terhadap zipper system? Bahkan salah seorang komisionernya, Andi Nurpati, pernah “ngotot” dengan mengatakan KPU tetap akan memberlakukan peraturan tersebut kendati perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) terkait zipper system itu tidak dikabulkan. KPU, kata Andi, siap melayani gugatan bila peraturan tersebut dianggap melanggar peraturan. Heran sekali, kok terkesan KPU malah siap menabrak peraturan?

Tak heran jika akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan peringatan keras kepada KPU terkait itu. Menurut MK, tindakan KPU tersebut mencerminkan mereka tidak mengerti hukum. Sebab, berdasarkan konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat. Putusan MK juga merupakan negative legislator yang kekuatannya setara dengan UU. “Keputusan MK sudah jelas. Saya ingatkan agar KPU tidak perlu berwacana tentang teori hukum. Kalau persoalan hukum, di sini (MK) sudah gudangnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD di Jakarta, 18 Februari lalu.

Mahfud menegaskan, jika KPU beralasan memerlukan peraturan pemerintah perppu atau revisi terlebih dahulu, berdasarkan teori ataupun konstitusi yang berlaku, maka hal itu sama sekali tidak benar. “Yang memerlukan perppu atau revisi UU hanya yang menimbulkan kekosongan hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis pelaksanaannya,” katanya.

Rencana KPU mengatur satu dari tiga caleg (calon anggota legislatif) terpilih harus mewakili perempuan (zipper system) juga dinilai Mahfud sebagai ketentuan di luar putusan MK. Menurutnya, UU Nomor 10/2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK tidak mengharuskan wanita duduk di kursi DPR. “MK mengatur ketentuan dalam setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan dan itu tidak dibatalkan,” tegasnya. KPU seharusnya melaksanakan UU, termasuk pembatalan UU yang diputuskan MK. Artinya, kalaupun ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, KPU tidak berwenang mengatur.

Terkait dengan gagasan untuk kemajuan politik kaum perempuan di Indonesia , kita tentu saja patut mendukungnya. Kita harus bahu-membahu memperjuangkannya, di pelbagai sektor kehidupan dan di semua wilayah kedaulatan negara ini. Itulah sebabnya, penyadaran masyarakat akan keniscayaan kesetaraan gender perlu terus-menerus dilakukan. Artinya, ini harus menjadi pekerjaan rumah kita bersama, sekarang dan ke depan. Jadi, tidak perlulah KPU merasa bahwa lembaga ini sedang memikul beban berat demi memperjuangkan kemajuan politik kaum perempuan Indonesia. Artinya, ke depan, KPU tidak perlu lagi berpolemik di seputar wacana ini. KPU harus menyadari posisinya sebagai lembaga pelaksana dari hal-hal yang sudah diputuskan sebagai kebijakan publik oleh DPR.

Kembali pada zipper system, haruslah disadari bahwa di tahapan caleg hal ini sudah ditetapkan, bahwa setiap partai politik yang menjadi kontestan Pemilu 2009 harus menyediakan kuota 30% bagi caleg perempuan. Itulah sebentuk dukungan resmi negara ini bagi kaum perempuan demi mencapai kemajuan politiknya. Kalau zipper system mau diterapkan lagi di tahapan aleg (anggota legislatif) untuk para caleg terpilih nanti, mungkin bisa saja dipertimbangkan jika tidak ada keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak”. Tapi soalnya, bukankah MK melalui keputusan terbarunya itu sudah menetapkan bahwa para caleg terpilih yang akan ditetapkan sebagai wakil rakyat nanti haruslah berdasarkan “suara terbanyak”?

Keputusan MK merupakan revisi dari UU Nomor 10/2008, sehingga karena itu ketetapan tentang “suara terbanyak” merupakan peraturan yang setingkat UU. Inilah hukum positif dan memiliki kekuatan yang mengikat publik. Ia jelas harus berlaku dan menjadi pedoman yang mengikat semua pihak, agar kepastian hukum dapat dijamin. Artinya, dengan mengacu hukumlah yang salah dan yang sesuai dapat ditentukan. Itu berarti, untuk hasil pemilu nanti, tak pada tempatnya lagi kita mempersoalkan apakah nanti kian banyak atau tidak kaum perempuan yang masuk ke lembaga legislatif.

Inilah yang harus dipahami secara klir oleh semua pihak. Siapakah yang harus dipandang lebih utama dalam pemilu, rakyat atau para caleg? Secara logis tentulah rakyat yang lebih penting ketimbang para calegnya. Sebab, rakyatlah yang memberikan suaranya untuk para caleg. Sebaliknya para caleg justru harus berupaya keras merebut simpati rakyat demi mendapatkan suara sebanyak-banyaknya jika ingin menjadi wakil rakyat. Jadi, tanpa rakyat, tak mungkinlah pemilu dapat diselenggarakan. Itu sebabnya rakyat disebut konstituen (yang pokok), sedangkan caleg disebut kontestan (yang turut serta). Itu pula sebabnya pemilu disebut sebagai pesta demokrasi, dan pesta demokrasi adalah pestanya rakyat.

Dengan demikian maka selaraslah keputusan terbaru MK tentang “suara terbanyak” sebagai penentu layak tidaknya seorang caleg menjadi aleg di satu sisi dan pemilu sebagai pestanya rakyat di sisi lain. Itu berarti, siapa yang akan menjadi wakil rakyat tidak lagi ditentukan oleh partai politik berdasarkan nomor urut, melainkan berdasarkan perolehan suara terbanyak dari rakyat selaku pemilih. Dengan begitu kedaulatan rakyat semakin dihormati, dan niscayalah demokrasi Indonesia semakin berkualitas.

Jadi, soal siapa-siapa nanti yang terpilih menjadi wakil rakyat nanti, biarlah rakyat yang memutuskannya melalui pemilu secara bebas. Entah laki-laki atau perempuan, kita semua harus menerimanya. Tidak satu pun pihak, termasuk partai politik yang bersangkutan, yang berwenang mengintervensi para caleg terpilihnya nanti.

Oleh Dr Victor Silaen, MA
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com)



0 comments:

Post a Comment

 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact