SUARA HATI
this site the web

"Anak" tak Jelas, Pancasila pun Makin Kabur

Oleh: Basri, Catatan Monolog Ahmadi Haruna, "Kubelah Jantungku"

DARI pojok kanan luar Kafe Kaisar, Makassar, berteriak seorang laki-laki. Ia mempertanyakan kondisi di dalam ruangan yang dihadiri para pejabat. Hadirin tersentak.Soalnya, hadirin menunggu-nunggu agak lama pemeran monolog "Kubelah Jantungku" itu muncul dari depan, tapi tiba-tiba justru datang dari belakang penonton. Sosok lelaki bernama Ahmadi Haruna itu pun menyeruak ke tengah-tengah penonton sambil membawakan monolognya. Ia langsung naik pentas.

Hening sejenak. Ahmadi memecahkan kepenasaranan hadirin dengan menjelaskan perannya. Ia "tiba-tiba" menjadi pembawa acara seraya menyapa para pejabat yang menjadi tetamu dalam resepsi Ulang Tahun ke-41 SKU Tegas Makassar itu. Ahmadi juga mengumumkan para penyanyi yang akan mengisi acara hiburan.

Tentu saja setelah pertunjukan monolog karya Ahmadi Haruna dalam acara Minggu malam, 27 Januari itu.

Keaktoran Ahmadi tampak jelas dalam adegan ini. Dengan karakter khasnya, ia beralih peran. Ekspresi peraih aktor terbaik dalam Festival Teater Sulsel 1987 ini kembali pada sosok tua. Kali ini, monolog Ahmadi menyentuh bagian lain. Dari persoalan perempuan, negarawan, birokrasi, Pilgub, sampai hal-hal filosofis kondisi keseharian lainnya.

Aktor salah satu perintis Teater Monolog di Sulsel itu membedah makna Pancasila. Katanya, makna Pancasila telah bergeser dari nilai-nilai "mulia" yang terkandung di dalamnya.

"Pancasila tidak lagi mencerminkan sebagai sesuatu yang mendasar dalam kehidupan ini, terutama di Sulsel dalam momentum Pilkada," kata Ahmadi seraya mencontohkan lima sila yang dimaksud.

Pergeseran nilai sila pertama, menururt Ahmadi, dapat dilihat dalam kehidupan berdemokrasi. "Para elit politik seakan-akan melupakan Tuhan," katanya.

Pergeseran makna sila kedua, dapat dilihat pada munculnya anarkistis di mana-mana. Pertikaian pun di mana-mana. Semua ini mengakibatkan tercincangnya nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana pada sila kedua Pancasila.

Pergeseran nilai sila ketiga, tergambar pada kerenggangan terhadap persatuan melalui silang pendapat soal keputusan MA tentang Pilkada Gubernur Sulsel baru-baru ini. Ini katanya gambaran persatuan di Sulsel telah tergugat.

Pergeseran sila keempat tampak di DPR. Harusnya segala sesuatu dilaksanakan secara musyawarah, lalu mufakat. Kondisi sekarang, justru mufakat dulu baru musyawarah.

Khusus pada sila kelima, Ahmadi menyoal adanya pelbagai keputusan yang lahir dari penegak hukum yang kemudian kontroversial di dalam masyarakat. "Bukankah hukum itu untuk memberi rasa keadilan kepada masyarakat? Lalu, mengapa justru masyarakat bertanya-tanya, di mana keadilan itu?

Maka, patut pula dipertanyakan, ke mana sila 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' itu?" tutur pemeran utama "Karaeng Pattinggaloang" karya Fahmi Syariff dalam Festival Teater Indonesia di Yogyakarta beberapa tahun lalu.

Lantas apa kaitannya dengan makin "kaburnya" nilai-nilai Pancasila dengan peran Ahmadi sebagai "suami" Margaret?

Di sinilah keaktoran Ahmadi mampu memberi nuansa simbolik untuk menerangkan "kekaburan" nilai dalam kehidupan. Dalam adegan ini, Ahmadi terkulai di sisi meja bundar. Ia menatap sangat jauh. Wajahnya makin kusut ke masa lalu. Ia sangat tua.

Ahmadi menarik garis zaman mengenang seorang perempuan cantik bernama Margaret. Dari perempuan ini, Sang Tokoh dianugerahi tiga anak perempuan. Namun, sebagai ayah, Sang Tokoh bertanya, mengapa tak seorang pun puterinya yang mirip dengan ayah.

Ahmadi memerankan adegan ini dengan sempurna. Hadirin pun terkesima. Hening lima menit. Namun, suasana kembali cair ketika Ahmadi bangkit dan tiba-tiba muncul adegan kocaknya.

Saat itu, Ahmadi mengenang kecantikan Margaret. "Betisnya..., pipinya..., buah dadanya..., pokoknya, semuanya deh," kata Ahmadi seraya menertawai dirinya. Hadirin pun memberi aplaus seraya tertawa.

Dalam adegan inilah simbol "kekaburan" nilai itu terejawantah. Kendati makna yang lain bisa saja muncul, bahkan berbeda, bergantung apresiasi penonton lainnya. Di sini ada makna bahwa antara aturan, pembuat aturan, dan yang menjalankan aturan, kadang-kadang terjadi kesenjangan.

Tidak selamanya "wajah" anak bisa tunduk dari "wajah" ayahnya. Tidak selamanya "wajah aturan" sejalan dengan "wajah" yang melahirkan aturan. Siapa tahu, sebuah aturan lahir dari sebuah "perzinahan hukum".

Ini pun hanya salah satu persepsi dari sebuah apresiasi, sebagaimana kesangsian Sang Tokoh tadi terhadap tiga anaknya. Dan, Margaret bisa jadi ikon sebuah "perzinahan" itu, ikon sebuah kekaburan nilai, kendati Ahmadi tidak menyebutkannya dalam pertunjukan berdurasi 27 menit tersebut. (*)

Sumber : http://fajar.co.id


0 comments:

Post a Comment

 

Suara Hati

Pendidikan. . . .Artikel. . . . Politik . . . . Berita. . . . Puisi. . . .

Contact